SUKU BANGSA MINAHASA DI DAERAH SULAWESI UTARA
A.
Asul Usul Suku Minahasa
Suku asli di
sana adalah Minahasa, lalu dari mana asalnya nenek moyang suku Minahasa?
menurut cerita mitos, mitos adalah cerita suci, sakral dan tidak sembarang di
ceritakan. Nenek moyang suku Minahasa adalah
Dewi Bumi dan Dewa Matahari yang
akhirnya melahirkan keturunan Minahasa, cerita ini diceritakan dalam bahasa
daerah dan yang mengetahui hanyalah para Walian yang memang ditunjuk oleh Opo
secara turun – temurun. Biasanya cerita ini diceritakan secara umum pada saat
upacara Rumages, menjadi cerita Toar Lumimu’ut. Toar Dewa Matahari yang selalu
menyinari Minahasa dan Lumimu’ut Dewi Bumi yang memberikan kesuburan pada tanah
Minahasa dan keturunan.
Berikut cerita singkat tentang Mitos Minahasa yang
dapat saya ceritakan karena cerita lebih lengkapnya memang hanya rahasia dan
cuma di ceritakan secara turun temurun. Karena jika diceritakan akan terjadi
banyak pertanyaan yang akan susah dijelaskan lebih lanjut misalnya Dewi Bumi
ini pada bahasa asli Astoreth dalam Alkitab. Sayapun hanya bisa menceritakan
begini saja mengenai mitos.
Lalu darimana nenek moyang Minahasa pada awal
mulanya? jika cerita berdasarkan fakta?.Dari pendapat Tandean, seorang ahli
bahasa dan huruf Cina Kuno, 1997 datang meneliti di Watu Pinawetengan. Melalui
tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa
merupakan turunan Raja Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke
Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau itu.
Namun aneh juga seperti diketahui Dinasti Ming bukanlah orang Mongolia justru
Dinasti Ming adalah yang mengganti Dinasti Yuan yang dipimpin bangsa Mongol,
oleh Kubilai Khan.
Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C
Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama
dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa
mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia
saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali
pergi ke Manado. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat
pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh
Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang
teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan
Dayak, dan Korea.
Namun memang orang Minahasa sudah tidak murni dari
Mongol saja, namun sudah campuran Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui
keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya aslinya Suku
Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi yang
terkenal dengan kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang masuk ke
Indonesia hanya mendirikan 1 tempat ibadah di Indonesia silahkan lihat Sinagog
di Tondano.
Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh
Indonesia dibilang bangsa asing karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu.
Serta sangat berbeda dengan ciri orang Indonesia pada umumnya.
Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur
melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya
akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan
kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan
dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling
mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat),
malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan
matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa
yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa
(Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).
Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan
kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak
seorangpun yang tau. Seperti Opo Karema pernah kasih amanat “Keturunan kalian
akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan
untuk bersatu dan berjaya.”
B.
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:
1.
Babontehu
Suku Babontehu, adalah
salah satu sub-suku Minahasa, yang terdapat di provinsi Sulawesi
Utara. Suku Babontehu bermukim di daerah kepulauan sebelah barat laut
Minahasa.
Suku Babontehu ini
pada masa dahulu berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama Kerajaan
Manado, yang berpusat di pulau Manado tua. Mereka sejak dahulu adalah
bangsa pelaut, dan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Dalam kelompok mereka,
sebelum mereka bergabung dengan kelompok suku Minahasa.
Pada awalnya
mereka tinggal dan bermukim di pulau Manado Tua, karena mereka bermigrasi ke
pulau ini. Tapi sebelum kehadiran mereka di pulau ini telah ada penduduk di
pulau ini yang terlebih dahulu menghuni pulau Manado Tua ini, yaitu suku-bangsa
Mangindanou, yang terkenal sebagai Bajak Laut. Tapi setelah sekian lama entah
karena sebab apa, orang-orang Mangindanou ini pindah dan bermigrasi ke daerah
lain, diduga ke Filipina. Pada masa itu pulau ini dikenal dengan nama “pulau
Manadou”. Setelah pulau Manado ini kosong, masuklah orang Babontehu dalam
kelompok kecil, dengan jumlah sekitar 30-40 kepala keluarga. Kehadiran
suku Babontehu ini rupanya diterima oleh suku Bantik yang berada di Pogidon
(Wenang) dan Minanga (Malalayang), dan mereka telah menjalin hubungan baik
sejak dulu. Suku Babontehu ini pernah memiliki suatu kerajaan yang bernama
Kerajaan Babontehu, yang dipimpin oleh seorang Kolano (Raja).
Pada zaman itu,
sekitar tahun 1570-1606, datanglah bangsa Portugis berlabuh ke pulau Manado
Tua, tapi mereka tidak melakukan apa-apa, terlihat mereka hanya ingin
bersahabat dengan penduduk pulau Manado Tua.. Di pulau Manado Tua ini, orang
Babontehu melakukan barter hasil bumi dengan penduduk negeri Pogidon (Wenang)
dan Minanga (Malalayang).
Suku Babontehu ini
sempat berperang dengan Kerajaan Bolaang Mongondow, tapi dalam pertempuran
mereka mengalami kekalahan. yang membuat mereka terusir dari pulau Manado Tua,
sehingga mereka pun pindah ke daerah baru dan membangun pemukiman baru di
kepulauan Sangihe.
Setelah sekian
lama suku Babontehu akhirnya menggabungkan diri dengan kelompok suku Minahasa,
dan diakui sebagai salah satu sub-suku Minahasa. Saat ini masyarakat suku
Babontehu tersebar di beberapa daerah di provinsi Sulawesi Utara.
2.
Bantik
Suku Bantik (Tou Bantik), adalah sub-suku Minahasa di Sulawesi
Utara. Suku Bantik tersebar di sebelah barat daya kota Manado, yaitu di
Malalayang, Kalasei dan sebelah utara Manado, yaitu di Buha, Bengkol, Talawaan
Bantik, Bailang, Molas, Meras serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minahasa
Selatan dan juga terdapat di Ratahan dan wilayah Mongondouw.
Suku Bantik, termasuk keturunan Toar dan Lumimuut, tapi
mereka tidak memiliki Pakasa’an, karena menurut legenda, mereka terlambat
datang dalam musyawarah di Watu Pinawetengan.
Suku Bantik memiliki adat-istiadat, kebiasaan dan ciri-ciri
muka dari kelompok sub-suku Minahasa. Mereka berbicara dalam bahasa Bantik,
yang agak berbeda dengan bahasa Minahasa pada umumnya. Bahasa Bantik sendiri
lebih mirip dengan bahasa-bahasa dari Sulawesi Tengah.
Salah satu budaya tari suku Bantik yang terkenal adalah Tari
Mahamba, adalah suatu tarian yang indah yang diperagakan apabila ada
acara-acara tertentu pada masyarakat suku Bantik. Selain itu mereka juga
memiliki Tari Perang dan lain-lain.
Masyarakat
suku Bantik mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, seperti suku-suku Minahasa
lainnya yang pada umumnya memeluk agama Kristen. Agama Kristen diperkenalkan ke
dalam kalangan orang Bantik oleh para misionaris Belanda, sejak awal kedatangan
orang Belanda di wilayah ini.
Menurut cerita bahwa suku Bantik ini pada awalnya berasal
dari wilayah Sulawesi Tengah, yang bermigrasi pertamakali di wilayah Bolaang
Mongondow. Kemudian mereka ikut dengan pasukan Bolaang Mongondow untuk
memerangi suku-suku Minahasa. Tapi ketika pasukan Bolaang Mongondow dikalahkan
oleh pasukan Minahasa di Maadon, Lilang (Kema), mereka tetap tinggal di sekitar
teluk Manado, dan tidak mau kembali ke wilayah Bolaang Mongondow.
Karena mereka bekas pasukan Bolaang Mongondow, mereka
diharuskan membayar upeti kepada Raja Boloaang Mongondow. Tapi hal itu membuat
mereka diejek oleh orang-orang Minahasa, sebagai budak-budak Bolmong.
Menurut legenda Tou Bantik, bahwa dulunya mereka berasal dari Sulawesi
Utara, tapi mereka bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau
Panimbulrang. Di sana mereka hidup pada beberapa kampung, hidup tentram dan
memiliki penduduk yang besar. Di pulau Panimbulrang inilah mereka disebut
“Orang Bantik”. Di sana mereka hidup lama disertai dengan
perkembangan-perkembangan kebudayaannya. Letak pulau Panimblurang tersebut saat
ini tidak diketahui dengan pasti. Menurut cerita orang tua-tua, lokasi pulau
“Panimbulrang” berada di sebelah utara, antara kepulauan Talaud dan Philipina.
Tapi karena terjadi suatu bencana alam, pulau Panimbulrang diterjang air bah,
sehingga seluruh perkampungan mereka tenggelam dan mereka pun menyeberang
kembali ke Sulawesi Utara.
Saat ini suku Bantik,
telah menjadi salah satu dari kelompok Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan
adat-istiadat berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat Minahasa, tapi mereka
berasal dari satu keturunan, yaitu dari keturunan Toar dan Lumimuut, sehingga
mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.
3.Pasan Ratahan (Tounpakewa)
Suku Pasan (Tousuraya), adalah
termasuk sub-suku Minahasa yang terdapat di Sulawesi Utara. Suku
Pasan tersebar di kecamatan Pasan, di Towuntu Timur, kampung Towuntu,
Liwutung, Tolambukan dan Watulinei. Populasi suku Pasan diperkirakan lebih dari
15.000 orang pada sensus tahun 1989.
Suku Pasan, telah lama
hidup berdampingan dengan suku Ratahan di suatu wilayah, sehingga di antara
kedua suku ini agak susah dibedakan, lagipula kedua suku ini menggunakan bahasa
dan adat-istiadat yang sama. Suku Pasan dahulu bernama suku Tousuraya.
Suku ini berasal dari Pakasa'an Touwuntu, yang terdiri dari 2 walak, yaitu
Tousuraya (sekarang menjadi suku Pahan) dan Toulumalak (sekarang menjadi suku
Ratahan).
Menurut cerita sejarah
Minahasa, pada masa lalu Raja Babontehu, menaklukkan daerah Teluk Tomini. Lalu
sang Raja itu mengawini seorang Putri Raja dari teluk Tomini dan menetap di
tempat itu. Setelah sekian lama keturunan mereka semakin banyak. Pada
suatu saat sang Raja tersebut dikalahkan oleh Raja Loloda Bolaang
Mongondow. Lalu sang Raja membawa membawa keturunan-keturunannya
beserta pengikutnya ke daerah Minahasa (diperkirakan di Manado). Seluruh
keturunan dan pengikutnya yang berasal dari Teluk Tomini banyak yang melakukan
kawin-campur orang Minahasa. Setelah beberapa lama, mereka melanjutkan
perjalanan menuju daerah yang lebih aman di sebelah Timur (Tenggara) Minahasa
dan keturunan-keturunannya inilah yang disebut sebagai Suku Pasan.
Menurut versi lain
sejarah Minahasa, disebutkan kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu,
menuju ke Bentenan. Mereka mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka ini lah yang
disebut suku Ratahan. Sedangkan yang menuju ke Towuntu (Liwutung), disebut suku
Tou Pasan. Sekelompok orang Tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu
(Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan,
yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus
(Pontak), dan mereka disebut sebagai suku Tou Ponosakan.
Seperti suku Ratahan,
masyarakat suku Pasan juga kebanyakan hidup pada bidang pertanian. Pada tanaman
padi, jagung, cengkeh, kopra dan lain-lain. Berbagai bidang profesi juga mereka
jalani, seperti pedagang, pegawai, guru dan sebagainya.
4. Ponosakan
Suku Ponosakan, adalah salah satu sub-suku
Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Ponosakan mendiami
kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok, tersebar di beberapa kampung, yaitu
di kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung
Watuliney dan Tababo. Populasi suku Ponosakan ini diperkirakan lebih dari 5000
orang.
Suku Ponosakan
merupakan satu-satunya suku dari kelompok Minahasa, yang masyarakatnya banyak
memeluk agama Islam. Pengaruh agama Islam ini mereka dapat dari orang-orang
Mongondow. Karena orang Ponosakan pernah terlibat hubungan baik dengan
orang-orang Mongondow di masa lalu.
Orang
Ponosakan berbicara dalam bahasa Ponosakan. Bahasa Ponosakan adalah salah satu
dialek bahasa Minahasa. Tetapi bahasa Ponosakan ini memiliki banyak kemiripan
dengan bahasa Mongondow. Menurut orang Mongondow bahasa Ponosakan ini adalah
salah satu dialek dari bahasa Mongondow. Walau demikian, walau bahasa orang
Ponosakan mirip dengan bahasa Mongondow, tapi mereka tetap mengaku bahwa mereka
adalah orang Minahasa.
Saat ini generasi muda
orang Ponosakan, banyak yang sudah hampir tidak mengetahui lagi bahasa
Ponosakan, karena para generasi muda Ponosakan banyak yang beralih menggunakan
bahasa Manado Pasar (Melayu Manado). Dari 5000 orang populasi suku Ponosakan
ini, diperkirakan yang berbicara dalam bahasa Ponosakan hanya sebesar 2000
orang saja. Hal ini membuat bahasa Ponosakan bisa terancam punah, akibat
dominasi bahasa-bahasa lain yang lebih kuat pengaruhnya di daerah-daerah orang
Ponosakan.
5.Tonsea
Suku Tonsea, adalah salah salah satu sub-suku Minahasa yang berada di provinsi Sulawesi Utara. Daerah pemukiman suku Tonsea ini berada di kabupaten Minahasa Utara meliputi daerah semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Populasi suku Tonsea diperkirakan lebih dari 90.000 orang pada sensus tahun 1989.
Suku Tonsea berasal dari pakasa'an Tountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa. Orang Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea. Bahasa Tonsea merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa.
Bahasa Tonsea sendiri memiliki beberapa
dialek, yaitu:
·
dialek Maumbi
·
dialek Airmadidi
·
dialek Likupang
·
dialek Kauditan
·
dialek Klabat
·
dialek Bitung
Dialek-dialek di atas,
tidaklah terlalu berbeda jauh, karena setiap pemakai dialek yang berbeda
wilayah bisa saling berkomunikasi dengan baik menggunakan dialeknya
masing-masing, apabila bertemu.
Pada masa sekarang ini,
bahasa Tonsea sendiri mengalami penurunan dalam jumlah penuturnya, akibat
dominasi dari bahasa Melayu Manado yang cenderung semakin dipakai oleh golongan
generasi muda suku Tonsea.
Pada abad 17, suku
Tonsea dipimpin oleh seorang yang bernama Xaverius Dotulong, sebagai
pemimpin dari suku Tonsea yang berkedudukan di Kema. Saat berkorespondensi
dengan Gubernur Ternate Robertus Padtbrugge, Xaverius Dotulong menggunakan
bahasa Melayu yang ternyata sudah banyak digunakan oleh pedagang-pedagang yang
berdagang di wilayah kepulauan Maluku. Xaverius Dotulong adalah anak dari
Runtukahu Lumanauw yang tinggal di Kema dan merintis pembangunan pertama kali
di wilayah adat suku Tonsea.
Mayoritas suku Tonsea
adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen tumbuh dengan kuat dalam kehidupan
masyarakat suku Tonsea, terlihat dari banyaknya bangunan gereja yang berdiri di
setiap pemukiman masyarakat suku Tonsea. Mereka sering mengadakan kegiatan di
gereja. Kegiatan gereja adalah sangat penting bagi kehidupan mereka.
Masyarakat suku Tonsea,
pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam beberapa jenis sayuran,
termasuk jagung, beberapa jenis buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam
tanaman keras seperti cengkeh. Pada bidang profesi lain, orang Tonsea
berprofesi sebagai pedagang, guru, pegawai negeri dan di sektor-sektor swasta.
Saat ini banyak orang Tonsea yang merantau ke daerah lain, seperti Manado,
Makasar atau ke pulau-pulau lain, seperti Papua, Maluku, Sumatra, Jawa dan
Kalimantan.
6. Tontemboan
Suku Tountemboan (Tontemboan),
merupakan sub-suku Minahasa, yang berdiam di kabupaten Minahasa bagian selatan
di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Tountemboan diperkirakan sekitar
150.000 orang.
Suku
Tountemboan, berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah
Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang dan daerah di
sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo,
Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang.
Suku ini berasal dari pakasa'an Tompakewa yang terdiri dari 6 walak:
Suku ini berasal dari pakasa'an Tompakewa yang terdiri dari 6 walak:
·
Tompaso
·
Langowan
·
Tombasian
·
Rumoong
·
Tongkimbut atas (Kawangkoan)
·
Tongkimbut bawah (Sonder).
Orang
Tountemboan berbicara menggunakan bahasa Tountemboan. Bahasa Tountemboan
merupakan salah satu dialek dari bahasa Minahasa.
Bahasa Tountemboan memiliki 2 dialek, yaitu:
Bahasa Tountemboan memiliki 2 dialek, yaitu:
·
dialek Matana’i (Sonder dan sekitarnya)
·
dialek Makela’i meliputi kecamatan Langowan, Tompaso’ dan sebagian
Tompaso’ Baru.
Mitos
leluhur orang Tountemboan, bahwa mereka juga berasal dari keturunan Lumimu-ut,
tapi dengan versi yang sedikit berbeda. Menurut bentuk mitos ini, pada
awalnya hanya ada lautan dan batu besar yang disapu oleh gelombang, dan setelah
itu seekor bangau berkeringat, dari keringatnya menghasilkan seorang dewa
perempuan yang disebut Lumimu-ut (Loeang-Sermata).
Dinasehati
oleh bangau itu akan keberadaan “negeri asali”, kemudian dia mengambil dua
genggam tanah yang ia sebarkan di atas batu, dan maka ia menciptakan dunia,
dimana ia menanam benih semua tanaman dan pohon, agar mirip dengan “negeri
asali”.
Setelah menciptakan
bumi, Lumimu-ut naik ke gunung, lalu angin barat bertiup dan membuatnya hamil.
Seiring waktu ia melahirkan seorang anak laki-laki, dan saat ia telah tumbuh
menjadi dewasa, sang ibu menyuruhnya mencari seorang istri, namun sejauh ia
mencari, ia tidak menemukan satupun. Maka Lumimu-ut memberinya tongkat yang
panjangnya sama dengan tinggi badannya, memintanya mencari seorang perempuan
yang harus lebih pendek dari tinggi tongkat ini, dan bila ia menemukan
perempuan demikian, maka ia ditakdirkan untuk menikahinya.
Ibu dan anak ini kemudian berpisah, satu pergi ke kanan dan satu ke kiri, dan mereka keliling dunia, hingga akhirnya bertemu kembali, tanpa saling kenal, dan saat sang anak mencocokkan tinggi badan ibunya dengan tongkat, tinggi badan ibunya ternyata lebih pendek dari tongkat, karena tanpa sepengetahuannya, tongkat itu bertambah panjang. Karena itu, maka ia pun menikahi sang ibu, dan mereka melahirkan banyak anak, yang keturunannya menjadi leluhur orang-orang Tountemboan.
Ibu dan anak ini kemudian berpisah, satu pergi ke kanan dan satu ke kiri, dan mereka keliling dunia, hingga akhirnya bertemu kembali, tanpa saling kenal, dan saat sang anak mencocokkan tinggi badan ibunya dengan tongkat, tinggi badan ibunya ternyata lebih pendek dari tongkat, karena tanpa sepengetahuannya, tongkat itu bertambah panjang. Karena itu, maka ia pun menikahi sang ibu, dan mereka melahirkan banyak anak, yang keturunannya menjadi leluhur orang-orang Tountemboan.
.
7. Toulour
7. Toulour
Suku Toulour disebut
juga sebagai orang Tondano, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di
provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Toulour ini diperkirakan lebih dari ...
orang.
Suku Toulour, mendiami daerah sekeliling danau Tondano sampai
di pantai Timur Minahasa (Tondano Pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris,
Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan Toulour terbagi atas dua walak yaitu
Tondano Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat.
Penduduk Minahasa sekitar kota Tondano, menyebut diri mereka
sebagai "orang Toulour", atau "orang Tondano / orang Tou nDano”.
Orang Toulour berbicara dalam bahasa Toulour, yang disebut juga sebagai bahasa
Tondano.
Asal-usul orang Tondano, menurut cerita, dahulu serombongan
pendatang, orang-orang Tifore, yang datang dari pesisir Timur (Atep). Orang-orang
Tifore ini melakukan kawin campur dengan orang Toumbulu, dan menetap di daerah
bagian barat danau (yang sekarang disebut danau Tondano). Dari keturunan inilah
yang menurunkan orang-orang Tondano. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar
danau Tondano.
Istilah "Tondano" diduga berasal dari bahasa
Tountemboan, yaitu "Touw un Dano", yang berarti "orang
danau". Sedangkan istilah "Toulour" berasal dari bahasa Tonsea
dan Tombulu, yaitu "Tou Lour", yang berarti "orang air".
Daerah pemukiman suku Toulour ini berada di dua daerah utama,
yaitu Touliang (sebelah timur sungai) dan Toulimambot (sebelah barat sungai).
Pada zaman kolonial Belanda, daerah ini oleh Belanda dinamakan distric Toulour
dengan kotanya adalah Tondano. Oleh karena itu penduduk di daerah ini menyebut
diri mereka sebagai orang Toulour, tapi juga sebagai orang Tondano.
Sebenarnya ada satu etnis lain yang menggunakan nama mirip,
salah satu etnis Minahasa yang menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw.
Yang menarik dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di
daerah Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw.
Satu hal lain yang juga menarik adalah orang Toundanouw ini juga berasal dari
keturunan orang Tifore. Mereka menetap di daerah Atep yang hijrah ke pedalaman.
Menurut Dr. J.G.F. Riedel, dalam bukunya (De Minahasa in
1825), tertulis bahwa pendatang-pendatang dari Tifore menetap di pesisir Timur
(Atep), merambah ke pedalaman dalam 2 kelompok, yaitu:
·
Kelompok ke-1, menuju Utara, masuk ke wilayah orang Tonsea dan
mendirikan pemukiman yang disebut Lumijang. Kelompok inilah yang menetap di
sekitar danau, kemudian dinamakan Tou nDano, atau Tou Lour (dalam bahasa
Tonsea/ Tombulu). Mereka lah yang menjadi orang Tondano atau orang Toulour.
·
Kelompok ke-2, menuju ke Selatan dan membuat pemukiman Awouw,
Topiriwan dan Watu. Mereka menyebut diri mereka sebagai orang Toundanouw. Dari
keturunan mereka terbagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu, yang disebut Tou Watu
atau Tombatu, dan satu lagi diduga adalah Tonsawang.
Ada suatu versi yang sedikit berbeda tentang orang Toulour,
menurut cerita beberapa Tetua Minahasa, dikatakan bahwa sejak kehadiran orang
Minahasa di sekitar danau Tondano, mereka menamakan diri mereka sebagai orang
Tondano. Kemudian mereka terbagi menjadi 3 walak, yaitu Kakas, Romboken dan
Toulour. Dari sini lah, terlihat maka orang Toulour, selain menyebut diri
mereka sebagai orang Toulour, mereka juga mengaku sebagai orang Tondano. Karena
mereka adalah pecahan langsung salah satu dari 3 walak Tondano.
Dalam budaya orang Toulour, mereka memiliki suatu tradisi beladiri
yang tetap terpelihara, yaitu beladiri khas walak Tolour biasa dikenal dengan
nama ilmu beladiri Sakalele soma'tanu rano wo reghes (silat sakti air dan
angin). Sakalele ini memiliki 36 jurus, yang sangat hebat. Ilmu
beladiri Sakalele memiliki jurus-jurus dicipta berdasar pergerakan alam,
air dan angin di danau Tondano.
Orang Toulour, pada umumnya hidup sebagai petani. Beberapa orang
bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di danau Tondano. Sedangkan pada bidang
profesi lain, mereka bekerja sebagai pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.
8. Tonsawang
Suku Tonsawang (Tounsawang), merupakan salah satu sub-suku Minahasa
yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tonsawang, bermukim di
kecamatan Tombatu dan Touluaan. Populasi suku Tonsawang diperkirakan lebih dari
20.000 orang pada sensus tahun 1981.
Suku Tonsawang ini berasal dari Pakasa'an Toundanouw, menurut
sejarah, dikatakan bahwa dahulu di daerah pantai Amurang terdapat sebuah danau,
dan arah tenggara danau terdapat sebuah daerah perbukitan bernama Batu, di
tempat itu berdiam sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai orang
“Toundanouw”, yang berarti "orang dari air". Orang Toundanouw ini
terbagi menjadi 2 kelompok, salah satunya adalah yang sekarang disebut sebagai
orang Tonsawang., sedangkan kelompok satu lagi disebut orang Tombatu.
Menurut cerita lain, nenek moyang orang Tonsawang, dikatakan
berasal dari pulau kecil Mayu dan Tafure (Tifore atau Tidore) di selat Maluku
yang mendarat di Atep, kemudian melanjutkan perjalanan ke Tompaso, dan kemudian
melanjutkan perjalanan lagi menuju ke tempat mereka sekarang ini.
Walaupun mereka menyebut diri mereka sebagai orang Tonsawang,
tapi kadang-kadang mereka menyebut diri mereka juga sebagai orang Toundanouw.
Karena dilihat dari asal-usul, bahwa orang Tonsawang bersama orang Tombatu,
adalah berasal dari keturunan orang Toundanouw.
Di wilayah pemukiman
suku Tonsawang, terdapat peninggalan sejarah yang dikenal dengan nama Lesung
Nawo Oki yang telah berumur ratusan tahun. Penemuan ini menunjukkan bahwa di
wilayah hunian suku Tonsawang ini sejak dahulu telah dihuni manusia, yaitu
dengan adanya Lesung Nawo Oki ini. Lesung Batu Nawo Oki ini berkaitan erat
dengan legenda Raja Nawo Oki, yaitu nama pemimpin orang Tonsawang pada masa
lalu, sekitar abad 17.
Masyarakat suku
Tonsawang, mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen berkembang
dengan pesat di daerah ini sejak masuknya bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda
ke daerah ini sekitar akhir abad 17.
Suku Tonsawang pada
umumnya hidup sebagai petani. Menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi dan
jagung serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam
tanaman keras seperti cengkeh, kopra dan lain-lain.
9. Tombulu
Suku Tombulu (Toumbulu), adalah salah satu suku tua di tanah Malesung
(Proto Minahasa/ Minahasa Tua), yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku
Tombulu, terkonsentrasi di Tomohon yang mendiami daerah kota Tomohon, kecamatan
Tombariri, kecamatan Pineleng, kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, Likupang
Barat dan ibukota Sulawesi Utara kota Manado. Populasi suku Tombulu
diperkirakan lebih dari 60.000 orang pada sensus 1981.
Suku Tombulu, memiliki 8 walak (klan), yaitu:
·
Tomohon (Tou Muung)
·
Sarongsong
·
Tombariri
·
Kakaskasen
·
Ares
·
Maumbi (Kalawat Atas)
·
Kalawat Wawa (Klabat Bawah) di Paniki
·
Likupang.
Saat ini terdapat suatu Organisasi Adat Pakasaan Tombulu yang aktif
melestarikan dan mengembangkan budaya suku Tombulu, yang dipimpin oleh mantan
Wakil Walikota Tomohon Syennie-Smits Watoelangkow. Organisasi masyarakat ini
telah membangun suatu amfiteater dengan pemandangan indah ke gunung Lokon yang
masih aktif dan gunung Empung. Di tempat-tempat ini lah dahulu suku Tombulu
menganggap pemukiman dewa-dewa mereka. Di sekitar amfiteater terdapat banyak
mata air yang konon kabarnya bisa menyembuhkan penyakit dan membuat lebih
pintar.
Di kompleks Organisasi Pakasaan Tombulu yang bernama Rano Walanda,
terdapat banyak Waruga. Waruga adalah batu yang berlubang, yang pada masa
dahulu digunakan sebagai tempat meletakkan mayat orang di dalam dan menutupinya
dengan batu berukir besar. Lokasi amfiteater Rano Walanda terdapat di desa
Woloan I di kota Tomohon.
Asal-usul suku Tombulu, menurut cerita rakyat (legenda/ mitos) seperti
yang ditulis Pdt.M.Ph. Wilken dan Graflaand, yang tersimpan secara turun
temurun dalam masyarakat suku Tombulu, adalah nenek moyang pertama di Minahasa
adalah Opo Toar dan Lumimuut. Menurut ceritanya mereka hanyut terbawa arus dari
arah utara, lalu terdampar di pantai barat Minahasa, di batu karang yang
dinamai Batu Kapal yang terletak di daerah Sapa (kecamatan Tenga kabupaten
Minahasa Selatan sekarang). Mereka hanyut terbawa arus air bah. Dalam tulisan
Dr. Riedels Zano Simezuk Wangko, air bah merendam seluruh dataran sampai ke
puncak gunung Lokon, Gunung Mahwu, dan gunung Soputan.
Opo Toar dan Lumimuut, berdiam di sekitar gunung Wulur Mahatus. Kemudian
pindah ke sekitar Niutakan dekat Tompasu Baru. Di Tempat baru ini Opo Toar
kawin dengan Lumimuut. Setelah sekian lama ternyata jumlah mereka bertambah
banyak dan memenuhi daerah itu, sehingga mereka mulai menyebar ke seluruh
Malesun (Minahasa). Awalnya terdapat 25 kepala keluarga yang menyebar, salah
satunya antara lain keluarga Pinontoan dan istrinya Ambilingan dengan 6 orang
anaknya. Mereka datang ke dataran gunung Lokon. Keturunan dari keluarga inilah
yang diyakini menurunkan "suku Tombulu".
Suatu tulisan di Facebook, yang diposting oleh Kennedy Polakitan,
menceritakan penyebaran suku Tombulu berdasarkan sejarah Minahasa. Pada awal
penyebaran suku Tombulu sekitar abad 10, suku Tombulu di Wanua Meijesu
diperintah oleh Lumoindong putra dari Walian Pukul, ditimpa wabah penyakit yang
menewaskan banyak penduduk. Oleh karena itu suku Tombulu terpencar dan keluar
mencari pemukiman baru. Tempat-tempat yang dituju sebagai pemukiman baru dan
terbentuknya beberapa walak pada suku Tombulu, adalah:
Tonaas
Tumbelwoto, memimpin sebagian orang Tombulu pergi tumani ke Wanua Tula’u hingga
terbentuklah walak Saronsong,
Sebagian
rakyat berpindah ke Kinilow Tu’a. Tonaas Ka’awoan meninggalkan Kinilow Tu’a
memimpin sebagian orang Tombulu pergi kearah barat ke suatu tempat yang
terdapat rumput yang dinamai Wariri, sebagian orang yang menetap di sana
disebut Touwariri, lalu sebutannya menjadi orang Tombariri.
Selanjutnya
dari sana sebagian rakyat yang dipimpin oleh Walian Lokon Mangundap, Kalele,
Apor, Karundeng, Kapalaan, dan Posumah,
mendirikan negeri baru yang dinamai Katinggolan yang merupakan cikal
bakal dari terbentuknya Wanua Woloan.
Tonaas
Mokoagow juga meninggalkan Kinilow Tu’a dan pergi tumani ke Wanua Mu’ung dan
Kamasi membentuk Tou Mu’ung (Tomohon).
Tonaas
Ticonumu dan Tuerah pergi tumani ke Wanua Kakaskasen dan membentuk Walak
Kakaskasen,
Tonaas
Lolong lasut dan Ruru pergi tumani ke Wanua Wenang dan Ares membentuk Walak
Ares (di kota Manado sekarang).
Dari
Kinilow Tu’a beberapa taranak pergi tumani ke Wanua kali dari sana Tonaas Alow
pergi melintasi sungai wenang utara, lalu tumani ke Wanua Kalawat atas dan
membentuk Kalawat atas yang kemudian berubah menjadi Kalawat Maumbi.
Dari
Kalawat Atas keluar Tonaas Kondoy, Wangko Saumanan pergi ke barat tumani ke
Wanua Kalawat Kalewosan yang kemudian menjadi Wanua ure, kini disebut Komo
Luar. Kalawat Kalewosan ini kemudian menjadi Kalawat Wawa, ibu negeri Wanua
ure.
Tonaas
Kalengkongan beserta sebagian rakyat meninggalkan Kalawat Atas dan Kalawat
Wawa, pergi tumani ke Wanua Likupang. Menimbulkan Walak Likupang.
Jadi suku
Tombulu telah pecah menjadi beberapa walak. Tetapi pada abad 15, Tonaas
Dotulong, Tidajoh Koagow dari Pakasaan Tonsea telah merampas Wilayah Dimembe,
suatu wilayah yang sangat luas sekali.
Orang Tombulu dalam keseharian di dalam lingkungan sesama orang Tombulu,
menggunakan bahasa Tombulu. Bahasa Tombulu ini merupakan salah satu dialek
bahasa Minahasa. Bahasa Tombulu lumayan terkenal, karena beberapa lagu daerah
yang populer kebanyakan berasal dari bahasa Tombulu, seperti lagu "O Ina
Ni Keke".
Dalam hal kepercayaan, seperti sub-suku Minahasa lain pada umumnya
memeluk agama Kristen, begitu pula suku Tombulu ini adalah pemeluk agama
Kristen. Agama Kristen telah lama berkembang dalam lingkungan masyarakat suku
Tombulu, Diperkirakan mereka memeluk agama Kristen sejak kehadiran bangsa
Portugis, Spanyol dan Belanda ke tanah Minahasa ini.
Masyarakat suku Tombulu pada dasarnya hidup sebagai petani. Mereka
menanam padi di sawah dan ladang. Selain padi mereka juga menanam beberapa
jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Juga beberapa tanaman keras seperti
cengkeh dan kopra.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.m.wikipedia.org/wiki/minahasa?wasRedirected=true
http://id.voi.co.id/fitur/voi-pesona-indonesia/3812-tari-kabasaran--simbol-keberanian-
suku-minahasa.html
http://members6.boardhost.com/thinktanksulut/msg/1165897255.html
http://tonsea.blogspot.com/2006/06/asal-usul-suku-minahasa.html
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4919605
http://wisatamelayu.com
http://www.theminahasa.net
http://pesonamdo.wordpress.com
Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon