Unsur Agama menurut Harun Nasution

Oleh susianto
Prof Dr. H.M. Rasjidi, [1] Menteri Agama RI yang pertama, mengamati
bahwa sejumlah sarjana lulusan I.A.I.N. yang dikirim ke Barat untuk
menyelami alam fikiran orientalisme, mereka bukan mendapatkan
sumber kekeliruan para sarjana Barat, tetapi justru terbawa arus.
Resistensi mereka masih cukup lemah dan kehilangan d aya kritis
ketika harus berhadapan dengan berbagai konsepsi Barat tentang
Islam. Prof. Rasjidi sendiri bahkan harus menelan kepahitan, salah
seorang sahabatnya yang ia fasilitasi untuk belajar ke Barat justru
terpengaruh dan menjadi corong orientalisme. Sahabat yang ia
maksudkan itu adalah Dr. Har un Nasution. [2]
Harun Nasution merupakan tokoh yang dikenal sering menyampaikan
gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umum
dianut umat Islam. Ia dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran
Muktazilah karena dianggapnya mewakili pemikiran rasionalis dalam
Islam. Ia sendiri dalam berbagai kesempatan melalui ceramahnya, sering menekankan agar kaum Muslim Indonesia
berpikir secara rasional. Ia melihat bahwa keterbelakangan umat Islam umat Islam dapat diatasi diantaranya dengan
mengubah paham teologi yang dianutnya, yaitu dengan menanggalkan paham teologi tradisional dan menggantinya
dengan teologi yang rasional dan liberal. [3]
Kajian ini akan berupaya untuk menyoroti sejumlah aspek yang berkaitan dengan konsep agama dalam pandangan Harun
Nasution. Gagasan ini secara umum terangkum dalam bab 1 buku karyanya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” yang
diberi judul “ Agama dan Pengertian Agama Dalam Berbagai Bentuknya” . Pembahasannya akan mencakup sejumlah item
penting seperti definisi agama, perkembangan konsep agama, dan pandangan terhadap eksistensi agama-agama. Hal ini
prlu dikaji sebab dengan memahami konsep diri tentang agama maka cara pandang lainnya tentang hakikat agama dan
hidup beragama dari tokoh ini akan dapat dipahami secara lebih baik.
RIWAYAT HIDUP
Harun Nasution lahir pada 23 September 1919, di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ayahnya adalah Abdul Jabbar
Ahmad, seorang pedagang yang berasal dari Mandailing dan Qadhi (penghulu) pada masa Pemerintahan Belanda di
Kabupaten Simalungun Pematang Siantar. Sedangkan ibunya seorang Boru Mandailing Tapanuli, bernama Maimunah
keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil Haram. [4] Harun
Nasution di samping belajar agama dengan ayahnya juga dari ulama setempat dengan kajian kitab kuning berbahasa
Melayu, juga sempat mengenyam belajar di sekolah Belanda ( HIS ), suatu kesempatan yang langka bagi anak pribumi.
Dari sekolah HIS selama Tujuh tahun melajutkan pada sekolah MIK ( Modern Islamiche Kweekschool ) tahun 1934 di Bukit
Tinggi.
Harun kemudian melanjutkan pendidikan di Mesir. Pada masa itu Belanda kalah dari Jepang, sehingga hubungan luar
negeri antara Indonesia–Mesir menjadi terputus. Maka Harun Nasution memutuskan untuk bertekad untuk bekerja di
Mesir, sebab tunjangan yang berasal dari orang tuanya menjadi terputus akibat situasi ini. Dengan keahlian yang di
miliki dalam bahasa Inggris ia di terima sebagai juru tulis angkatan bersenjata Inggris yang berpangkalan di Mesir,
sampai ia bekerja di deperteman luar negeri ( 1953).
Dari Mesir Harun belajar kemudian mendapat tawaran dari Kedutaan untuk belajar di Mc. Gill (Canada). Tawaran
beasiswa ini sebenarnya turun atas prakarsa Prof. Rasjidi. [5] Pada saat dibutuhkan mahasiswa Indonesia untuk belajar di
Canada. Ia kemudian berhasil mendapatkan gelar Doktor dalam Islamic Studies di Montreal, Canada dan pada tahun
1968. Tahun 1969 menjabat sebagai rektor di IAIN Syarif Hidayatullah. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN
Syarif Hidayatullah. Harun Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.
DEFINISI “AGAMA”
Dalam mendefinisikan pengertian agama, Harun Nasuti on, secara simplistik seolah hendak menyamakan begitu saja antara
pengertian konsep agama, din, dan religi. Ia menarik benang merah antara ketiga konsep tersebut dengan menyimpulkan
bahwa intisari yang terkandung dalam istilah agama, din, dan religi mengerucut pada makna yang sama yaitu berupa
ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan-ikatan inilah yang, dalam pandangan Harun Nasution,
memberikan pengaruh bagi kehidupan sehari-hari manusia. [6]
Harun Nasution mendefinisikan bahwa istilah “agama” berasal dari akar kata “a ” yang berarti “tidak ” dan “gam ” yang
berarti “pergi ”. Kata baru yang terbentuk ini selanjutnya diarahkan untuk mendefiniskan bahwa agama merupakan sebuah
entitas yang memiliki sifat tidak pergi, tetap ditempat, dan diwarisi secara turun temurun. Nampaknya Harun Nasution
berupaya untuk mendefinisikan agama ini dengan mengacu pada sudut pandang proses transmisi dan transfer ajaran
agama dari generasi ke generasi. Dalam hal ini Harun Nasution sendiri menyetujui gagasan bahwa agama memang
memiliki sifat demikian.
Dalam memberi pengertian tentang istilah agama, Harun Nasution juga mengadopsi pendapat lain. Dikatakan bahwa term
agama juga bisa bermakna teks atau kitab suci. Hal ini merujuk bahwa masing-masing agama memiliki kitab suci sebagai
acuan ajarannya. Lebih lanjut, kata “gam” sendiri sebagai unsur atau akar kata pembentuk “agama” juga bermakna
tuntunan. Hal terakhir ini, dalam pandangan Harun Nasution, mengacu pada pengertian bahwa memang agama
mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.
Sedangkan terhadap “din”, term yang disepadankan dengan “agama”, oleh Harun Nasution dimasukkan sebagai kata yang
berakar dari rumpun Bahasa Semit. Kata ini berarti undang-undang atau hukum. Dalam Bahasa Arab, kata yang sama
mengandung arti “menguasai”, “menundukkan”, “patuh”, “hutang”, “balasan” dan “kebiasaan”. Dalam memaknai masing-
masing makna kata tersebut, Harun menjelaskan bahwa pengertian agama secara umum terkandung dalam istilah-istilah
yang telah dibahas. Ia kemudian mengambil sebuah konklusi bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah yang
merujuk pada agama di atas ialah kata “ikatan”. Jadi agama adalah ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi
manusia. [7]
Penggunaan kata “agama” di Indonesia memang telah digunakan secara umum. Peminjaman kata agama oleh Islam di
Indonesia untuk mempermudah proses transfer ilmu. Selain itu kata agama sendiri telah mengalami perubahan substansi
dengan masuknya pengertian baru melalui proses islamisasi bahasa. Hal yang sama juga terjadi pada istilah
“sembahyang” yang awalnya merupakan ekspresi ritual kaum animisme, diberi makna baru dan menjadi istilah lain untuk
ibadah shalat. Kata “Surga” yang awalnya merupakan sebuah pengaruh proses Indianisasi untuk menjelaskan sebuah
bentuk kehidupan ideal dan sakral di alam nirwana, diisi makna baru yang disepadankan dengan konsep jannah dalam
Islam.
Pemberian makna terhadap “istilah” agama di atas tentu tidak terlalu bermasalah. Hanya perlu ditambahkan bahwa
awalnya konsep agama sebenarnya menunjuk pada proses pengajaran agama Budha. [8] Agama memiliki makna dasar
“tidak pergi” bisa dijelaskan pada perilaku para murid yang hendak belajar agama mereka tidak akan meninggalkan sang
guru (rshi) sampai pelajaran itu dapat diselesaikan. Masalahnya selanjutnya adalah Harun Nasution menyamakan begitu
saja konsep dari berbagai istilah itu tanpa menjelaskan bahwa masing-masing term pada dasarnya memiliki kekhususan
sendiri, baik dari sisi makna awal, proses, maupun pemberian makna baru. Bentuk kajian yang bersifat demikian tentu
bisa menyebabkan kesalahfahaman.
Sedangkan kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab dyn, dalam pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
memiliki banyak penanda dasar yang secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan
semuanya menampilkan diri sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. ‘Keseluruhan’ ini menggambarkan bahwa apa
yang dimaksud sebagai Agama Islām, telah terkandung di dalam dirinya semua makna mungkin yang relevan dan inheren
dalam konsep dīn . Penanda dīn, menurutnya, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1) keberhutangan;
(2) ketundukan; (3) kekuatan hukum ; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah.[9]
Lebih lanjut Al-Attas mengatakan bahwa kata kerja dana yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang ,
termasuk berbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang . Diantara makna yang terkandung dalam situasi ini
adalah fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn . Ada dalam hutang dan di bawah
kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan: daynunnah , dan kesaksian: idanah , sebagaimana kasus tersebut.
Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat
terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau mada’in.
Sebuah kota atau kota besar, madīnah , memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyan . Jadi hanya dengan
menghadirkan berbagai ragam penggunaan kata kerja dana, bisa dilihat hadir sebuah gambaran kehidupan yang
beradab; lengkap dengan kehidupan sosial, hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas. Hal tersebut, secara konseptual
setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain maddana yang berarti: membangun atau mendirikan kota:
beradab, memperbaiki dan memanusiakan; darinya diturunkan istilah lain: tamadun , ber makna peradaban dan perbaikan
kebudayaan sosial.
Belum lagi apabila derivasi makna itu dilanjutkan pada kata-kata lain yang berasal dari akar kata yang sama. Dengan
melakukan derivasi dari penanda dasar pada kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, yang lain seperti:
menghina diri sendiri ; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur,
pemerintah terdapat tanda yang diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasa , berkuasa dan kuat ; seorang tuan ,
seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada
beberapa waktu yang dijanjikan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial
kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan
sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan,
otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai
normal dalam hubungan d engan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah kondisi yang biasa atau terbiasa .
Dari sini, kemudian, kita dapat lihat logika dibalik turunan dari penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat,
kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah . Pada tahap ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam
bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan kecenderungan alamiah manusia untuk
membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah kerajaan atau negara ,
yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu
mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya. [10]
Penggunaan istilah religi dengan menyepadankan maknanya dengan agama, sebenarnya juga bukan tanpa masalah. Meski
hal ini seperti telah menjadi kecenderungan umum namun, sekali lagi, bahwa hakikat setiap kata mewakili suatu makna
yang berasal dari suatu cara pandang tertentu terhadap realitas hendaknya tidak diabaikan.
Religi berasal dari kata Bahasa Latin religere, yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris menjadi religion. Kata religere
bermakna mengumpulkan, membaca. Harun Nasution memaknai ini bahwa agama merupakan kumpulan-kumpulan cara-
cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Pendapat lain menyebutkan berasal dari
kata religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama menurut Harun memang bersifat mengikat manusia. [11]
Sebenarnya maknanya awal religi menunjuk pada berbagai praktik dan kultus yang terjadi di dalam dan di sekitar Roma,
sebelum muncul Kristen. Ketika Roma menjadi Kristen, religi Kristiani ditetapkan sebagai kepercayaan dominan dan
semua kepercayaan lain diserap atau dihapuskan.  Namun kata religio pada masa ini ternyata tidak diterapkan terhadap
Kristen, karena sebagai satu-satunya agama yang diakui sah, Kristen dikenal dengan nama “Gereja” ( Church ). Setelah era
reformasi Gereja, kata religio lantas diasosiasikan dengan kepercayaan Kristen dan cara hidup yang berada di luar Gereja
Katolik. Protestanisme dipertentangkan dengan kependetaan dan karena itu dianggap sebagai religi kaum awam.
Pada tahun 1593 Jean Bodin, filosof Perancis, menerbitkan karyanya Colloquium Heptaplomeres , yang mengemukakan
pemahaman mengenai religi, termasuk keyakinan-keyakinan non-Kristen. Pada abad ke-18, “religion” mulai digunakan
sebagai konsep ilmiah, merujuk pada sistem kepercayaan selain Kristen. Meskipun “religion” berarti semua kepercayaan,
ketika ilmuwan Eropa menulis tentang religion secara kritis, yang mereka maksudkan adalah Protestanisme (sebagaimana
ungkapan Karl Mark tentang religion sebagai candu intelektual) atau religi terlembaga (Katolikisme) sebagai lawan dari
religi orang beriman (Protestan). [12]
Penggunaan istilah “religi” pada masa kini tidak mampu mewadahi hakikat makna yang terkandung dalam terminologi
diin sebab pada saat yang bersamaan “religi” juga mewujudkan adanya suatu asosiasi lengkap terhadap Kekristenan
mencakup semua doktrin, ritual, dan sejarahnya. Dalam kaca mata Barat, istilah “religion” akan terhubung dengan suatu
alam pandang yang membuat orang berfikir tentang inkuisisi, tahayul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar
sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, eksekusi dukun, larangan-larangan, ketakutan, pengakuan dosa, gila, dan
sejumlah persepsi lainnya. [13] Pandangan Barat terhadap hakikat agama hingga hari ini nampaknya belum sepenuhnya
lepas dari hal ini. Tanpa sadar sejarah Kristen selama bersentuhan dengan masyarakat Barat terbawa dalam kancah
pembentukan persepsi baru terhadap maknanya.
Dari pembahasan di atas lantas muncul suatu pertanyaan yang merujuk pada pengungkapan motif yaitu mengapa Harun
Nasution berupaya mencampur adukkan pengertian agama, din, dan religi pada saat bersamaan ? Dalam banyak
kesempatan bahkan ia menyetujui makna dan gagasan yang secara inheren terkandung dalam masing-masing ungkapan.
UNSUR-UNSUR AGAMA
Dengan pemahaman yang terbentuk dari berbagai istilah terkait “agama” diatas, Harun Nasution lantas
menunjukkan bahwa setiap agama memiliki unsur-unsur yang sama dan identik. Unsur-unsur penting yang terdapat
dalam agama itu antara lain adalah sebagai berikut: [14]
1. Kekuatan gaib: manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong.
Oleh karena itu manusia harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat
diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan
baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang
dicari akan hilang pula.
3. Respons yang bersifat emosional dari manusia. Respon itu biasa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang
terdapat dalam agama-agama primitive, atau perasaan cinta, seperti yang etrdapat dalam agama-agama monoteisme.
Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitive, atau pemujaan
yang terdapat adalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu juga mengambil bentuk cara hidup
tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4. Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung
ajaran-ajaran agama yang bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Terkait unsur pertama yang ada dalam agama, yakni kekuatan gaib, Prof. Rasjidi mengkritik bahwa dalam Islam seorang
mukmin tidak hanya percaya kepada kekuatan gaib tetapi pada alam gaib yang tidak terjangkau oleh panca indra. Lebih
dari itu Allah dalam Islam, bukan sekedar sebuah kekuatan. Ia merupakan oknum atau zat yang memiliki sifat-sifat
tertentu yang menunjukkan superioritasnya. [15] Dengan demikian Allah bukan sekedar sebuah kekuatan melainkan
pemilik kekuatan itu sendiri.
Pada bagian kedua, Harun berupaya menekankan bahwa kesejahteraan manusia tergantung pada adanya
hunungan dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Menurut Rasjidi, ungkapan ini memberi kesan bahwa kekuatan gaib
yang bersangkutan bersifat autoritatif, sebab menghajatkan agar manusia menyesuaikan diri untuk menghadapi kekuatan
gaib yang bersangkutan. Hal ini merupakan gambaran umum yang biasa disampaikan oleh kesarjanaan Barat dalam
memandang fenomena yang disebut agama. Selanjutnya agama dianggap sebagai genus yang memiliki spesies-spesies
yang bermacam-macam.
Sedangkan tentang respon emosional manusia, Harun justru menunjukkan bahwa dirinya terpengaruh dengan
gaya berfikir agama Masehi. Kristianitas menganggap bahwa agamanya merupakan ajaran monoteis namun pada saat yang
sama justru mengakui adanya tiga oknum tuhan yang dimanifestasikan melalui konsep trinitas. Dalam kekristenan cinta
merupakan suatu kata kunci. Manusia cinta Tuhan dan Tuhan cinta manusia, bahkan Tuhan adalah cinta. Hal yang
terakhir ini tentu saja merupakan hasil pergulatan teologis yang tumbuh dalam aliran sejarah.
Islam dalam pandangan Rasjidi, justru menunjukkan bahwa sikap manusia terhadap Allah bukan sekedar cinta
melainkan juga takut yang diwujudkan dalam penggunaan kata khasyah dan khauf. Jadi sikap takut bukan hanya terdapat
dalam agama primitif saja tetapi jelas bisa ditemukan dalam Islam. Meski demikian konsep takut dalam Islam jauh lebih
tinggi dan lebih halus dari takut dalam agama primitif.
KLASIFIKASI DAN TUJUAN AGAMA
Hal berikutnya yang patut mendapat kupasan dalam pemikiran Harun Nasution adalah tentang tujuan beragama.
Persoalan yang awal perlu dibahas di sini adalah Harun Nasution mengidentifikasi bahwa agama monoteis merupakan
satu entitas kategorikal yang secara konseptual berbeda dengan agama primitif. Dengan ini ia membedakan agama ke
dalam 2 kategori utama yakni agama monoteis dan agama primitif. Dalam berbagai kesempatan ia mengungkapkan namun
dengan menggeneralisasi bahwa semua agama yang ia kategorikan sebagai monoteis berada pada suatu “genus” yang
sama. Seolah tanpa memiliki sisi perbedaan semua “agama monoteis” ini kemudian diungkap dalam satu kerangka
berfikir yang sama.
Dari kedua kategori “genus” tersebut, Harun Nasution lantas memerinci agama-agama yang masuk dalam setiap
kategori. Masuk dalam jajaran agama primitif adalah animism, dinamisme, politeisme, dan henotesime. Sedangkan masuk
dalam jajaran agama monoteisme adalah Yahudi, Islam, dan Kristen yang terdiri dari Katolik dan Kristen Protestan serta
Hindu. Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama satu rumpun sedangkan hHindu tidak masuk ke dalamnya. Dalam
rumpun pertama Yahudi dengan Nabi-nabi seperti Ibrahim, Ishaq, Ismail, Yusuf, dan lain-lain. Kemudian Kristen dengan
Nabi Isa dan Islam dengan Nabi Muhammad. [16]
Menurut Harun Nasution agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam dianggap dari satu asal. Perkembangan dalam kurun
sejarah menjadikan ajaran masing-masing berbeda-beda. Yahudi dan Islam dikatakan masih menjaga kemurnian tauhid.
Namun Kristen menjadi agama yang menyimpang dari ketauhidan dengan adanya konsep trinitas. Selanjutnya, Harun
menilai bahwa Hindu meski dianggap masuk dalam politeisme, namun mengandung faham monoteisme. Trimurti dalam
Hinduisme yang terdiri dari Syiwa, Brahma, dan Wisnu mengandung aspek dari suatu zat yang maha tinggi. Brahma
menggambarkan sifat mencipta, Syiwa dengan sifat menghancurkan, dan Wisnu dengan sifat pemelihara. Benda-benda di
dunia terjadi, berwujud untuk waktu tertentu, dan kemudian hancur. Dengan demikian, menurut Harun, Islam dan Yahudi
adalah agama tauhid murni sedangkan Hindu dan Kristen tidak murni lagi.[17]
Harun kemudian menjelaskan bahwa masing-masing kategori agama di atas memiliki suatu tujuan beragama yang
spesifik. Tujuan beragama yang ada dalam agama primitif ialah mengadakan hubungan baik dengan roh-roh yang
ditakuti dan dihormati dengan senantiasa berusaha menyenangkan hati mereka. Setiap orang harus mampu mengambil
hati dan menyenangkan roh-roh pujaannya, sebab kemarahan mereka bisa diartikan sebagai penyebab bencana dan
malapetaka.[18] Agama primitif mencoba menyogok dan membujuk kekuasaan supernatural dengan penyembahan dan
sesaji agar mengikuti kemauan manusia.
Harun Nasution mengungkapkan bahwa tujuan hidup beragama terutama bagi kalangan monoteis adalah untuk
pembersihan diri dan roh. Hal ini diungkapkan Harun sebagai berikut: “Jelaslah kiranya bahwa tujuan hidup b eragama
dalam monoteisme ialah membersihkan diri dan mensucikan jiwa dan rokh”. [19] Konsep ini lahir dari pemahaman Harun
bahwa Tuhan dalam agama monoteisme adalah Maha Suci dan menghendaki agar manusia tetap suci. Manusia yang bisa
kembali kepada Tuhan hanyalah orang-orang suci sedangkan orang-orang yang kotor tidak akan diterima kembali di sisi
Yang Maha Suci. Orang-orang yang kotor akan menjadi penghuni neraka dan jauh dari Tuhan, sementara orang yang suci
akan dekat dengan Tuhan dan menghuni surga.[20]
Menanggapi tulisan Harun Nasution, Prof. Rasjidi memberikan alternatif kategori bahwa agama terdiri dari agama
alamiyah dan agama samawiyah. Sepintas lalu konsep yang ditawarkan Rasjidi ini mungkin mirip dengan konsep agama
samawi dan agama ardli yang lumrah dipahami umum. Namun Rasjidi memberikan penekanan secara khusus bahwa
agama alamiyah adalah agama yang terbentuk dari kebudayaan sekelomp ok manusia. Sedangkan agama samawi
merupakan agama wahyu yang berasal dari Tuhan dan satu-satunya agama wahyu terakhir adalah Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad. [21]
Ungkapan Harun Nasution tentang konsep kesucian manusia sebagai wahana mendekati Yang Maha Suci juga tanpa kritik.
Prof. Rasjidi menunjukkan bahwa dalam Islam, manusia itu tidak suci, manusia diperintahkan untuk berbuat atau
melakukan amal baik. Perkataan “suci” (thahara) dalam Islam banyak dipakai untuk menunjukkan aktivitas mensucikan diri
dari hadats atau membersihkan pakaian dari najis atau dari kejahatan. Menurut Rasjidi, istilah “manusia suci” tidak
terdapat dalam Islam, yang ada adalah istilah “manusia yang melakukan amal shaleh”. [22] Rasjidi menduga bahwa
pemikiran Harun ini barangkali terpengaruh dengan konsep Kristiani tentang kesucian.
Dalam kesempatan lainnya, Rasjidi berusaha menunjukkan bahwa konsep Islam tidak bisa disederhanakan sebagaimana
terdapat dalam sejumlah ungkapan Harun Nasution. Tujuan beragama dalam ajaran monoteis sejati dalam hal ini Islam
tidak sekedar “membersihkan diri dan mensucikan jiwa dan rokh”, namun mencakup konsep-konsep yang lebih kompleks.
Jadi, menyamakan antara Islam dengan berbagai agama hanya dengan mempertemukan keidentikan beberapa konsep
permukaan nampaknya dianggap oleh Rasjidi sebagai penyederhanaan yang keterlaluan.
Bentuk simplifikasi Harun Nasution lainnya, misalnya pembagian Kristen menjadi dua yaitu Protestan dan Katolik.
Padahal dari sejarah gereja dapat dipahami bahwa keduanya ini merupakan dua entitas yang terbentuk dalam sejarah
Barat. Di samping Katolik dan Protestan masih terdapat kelompok lain yang memiliki penganut dalam jumlah besar yakni
kelompok orthodox yang terdapat di Rusia, Eropa Timur, Asia Barat, dan Abbysinia. [23]
Menyejajarkan Hindu [24] dengan Islam, Kristen, dan Yahudi juga merupakan langkah yang sulit diterima. Harun Nasution
hanya membatasi bahwa Hinduisme dengan konsep trimurti-nya dan Kristen dengan konsep trinitas-nya tidak bisa
dikatakan monoteisme murni. Dengan demikian persoalannya dijadikan lebih ringan, sebab tidak lagi berpijakan pada
persoalan monoteisme dan bukan monoteisme tetapi monoteisme murni dan monoteisme tidak murni. Semuanya
monoteisme dan semuanya adalah agama. [25]
Dalam perkembanga terakhir Hinduisme, memang terdapat kesan bahwa pengaruh Indianisasi mulai bercorak monoteis.
Contoh paling mengemuka yang bisa digunakan di sini adalah menguatnya sekte Hare Khrisna yang menganggap bahwa
hanya Khrisna sebagai avatara dari Vishnu- lah Tuhan yang sejati. Aliran ini memang berupaya kuat melegitimasi
ajarannya dengan membabar konsep yang digali dari Veda . Meski Vedas menyediakan bahan yang cukup untuk suatu
konsep ketuhanan yang mendekati monoteisme, namun tidak bisa dinafikan bahwa kitab ini juga berbicara yang
sebaliknya. Penguatan sejumlah sekte yang menganggap adanya suatu deva tertinggi ini justru menguatkan pemahaman
bahwa Hindu dalam aspek ketuhanan sedang berproses dari politeis menuju henoteis.
Dari pembahasan dapat diketahui bahwa dari uraian Harun Nasution yang dalam sejumlah aspek terlihat simplistik
sebenarnya terkandung suatu pemikiran hendak menyamaratakan segala agama dan mengatakan bahwa semua agama itu
sama. Jika hal ini dimaksudkan agar terdapat jiwa toleransi di antara bangsa Indonesia, sesungguhnya dalam ajaran
Islam sudah lengkap dengan konsep toleransi yang bisa digali untuk hidup berdampingan dengan penganut agama lain.
[26]
PENUTUP
Berhadapan dengan suatu peradaban yang dianggap maju, seorang muslim akan dihadapkan dengan beberapa pilihan. Ia
bisa tetap kokoh menjaga khazanah warisan yang ia peroleh dari peradabannya sendiri. Pada kesempatan yang sama ia
juga kehilangan sikap kritis dan bahkan menjadi corong dari peradaban yang ia anggap maju tersebut. Dalam hal ini
Harun Nasution termasuk sosok yang kedua. Ia merupakan satu di antara putra-putra muslim yang tidak mampu bertahan
hingga keyakinan dan sikap meniru worldview Barat. Meski demikian bukan tidak ada yang mampu bertahan dan tetap
tegar menghadapi berbagai gempuran yang hendak mendekonstruksi pemikiran warasnya.
Dalam memperbincangkan makna agama, din, dan religi Harun Nasution cenderung menganggap sinonim ketiga term
tersebut. Makna satu term bahkan bisa diperlakukan sama dan inheren bagi term yang berbeda. Gagasan yang cenderung
simplistik ini tentu memiliki konsekuensi logis bagi pemikiran derivatif lainnya terutama dalam memandang agama dan
aspek-aspek yang ada di seputarnya.
Akhirnya penyederhaan yang sama juga terjadi saat membicarakann tentang klasifikasi dan tujuan hidup beragama.
Nampaknya upaya-upaya simplifikasi yang dilakukan oleh Harun Nasution ini bukan ditujukan untuk menyampaikan suatu
risalah yang bersifat ringkas. Sebagaimana penilaian Rasjidi, hal ini tidak lain memiliki muara akhir untuk
mengetengahkan konsep kesamaan agama dan menyama ratakan semua agama. Paham kontemporer ini pada masa
sekarang diidentifikasi sebagai konsep pluralisme agama. [ Susiyanto, M.Ag. ]
FOOTNOTE:
[1] Rasjidi yang memiliki nama asli Saridi lahir di Kotagede pada 20 Mei 1915 M / 4 Rajab 1333 H. Orang tuanya
bernama Atmosudigdo. Saridi kecil hidup dalam sebuah lingkungan muslim dengan tradisi kejawen yang cukup kental.
Awalnya ia masuk sekolah “angka loro”, yaitu sekolah dasar yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar
dan jenjangnya hanya sampai kelas lima. Saridi tidak sampai merampungkan pendidikannya di sekolah ini. Ia kemudian
melanjutkan pendidikan di Sekolah Rakyat Muhammadiyah di Kota Gede. Di sekolah inilah, Rasjidi mulai belajar Islam
secara intensif. Setelah lulus Saridi kemudian melanjutkan studinya di Kweekschool (Sekolah pendidikan Guru yang
mengadopsi model Belanda) milik Muhammadiyah. Pendidikan ini tidak diselesaikannya. Ia kemudian tertarik untuk
menjadi murid Ahmad Syurkati, tokoh Persatuan Islam (Persis), yang mendirikan Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Malang, Jawa
Timur. Perkenalan awalnya dengan Ahmad Syurkati dimulai dari kegemaran membaca, terutama dari Surat kabar Swara
Oemoem dan Kedjawen yang menjadi langganan ayahnya. Perubahan nama menjadi Muhammad Rasjidi adalah
pemberian Ahmad Syurkati, sebelum dirinya meninggalkan Sekolah Al-Irsyad. Nama Rasjidi itu baru dipakai secara resmi
setelah beliau menunaikan ibadah haji. Dari Al-Irsyad selanjutnya Rasjidi melanjutkan pendidikan di Al-Azhar, Kairo.
Pada masa kabinet Syahrir pernah menjabat sebagai Menteri Negara. Juga menjadi duta besar di berbagai negara pada
masa selanjutnya. Pada tahun 1946 Rasjidi diangkat menjadi Menteri Agama RI yang pertama. Tahun 1968 dikukuhkan
sebagai guru besar Fakultas Hukum untuk hukum Islam dan lembaga-lembaga Islam di Universitas Indonesia. Lihat: Muh.
Syamsuddin, Rasjidi: Pemikiran dan Perjuangannya , Yogyakarta: Aziziah, 2004, hlm. 2-5
[2] Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” , Jakarta: Bulan
Bintang, 1977, hlm. 12
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cetakan VI, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986, hlm. 42-43; Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia , Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, hlm. 260
[4] Aqib Suminto, et. all, Refleksi Pembaharuan Islam, 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: LSAF, 1989, hlm. 1-5
[5] Suatu ketika Prof. Rasjidi mendengar berita ada seorang anggota PRRI di Brussel yang kehabisan uang dan pulang ke
Kairo karena istrinya berasal dari kota itu. Rasjidi menulis surat menawarkan tugas belajar (fellowship ) kepada o rang
tersebut jika ingin belajar di Kanada. Harun Nasution, demikian nama orang tersebut, lantas menerima tawaran itu dan
datang ke Montreal tinggal bersama Rasjidi. Baru setelah istrinya yang di Mesir menyusul ke Kanada, Harun kemudian
pindah tempat tinggal. Lihat: Endang Basri Ananda (ed.), 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi , Jakarta: Harian Umum Pelita,
1985, hlm. 64
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cetakan V, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1985, hlm. 10
[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 10
[8] Kata agama awalnya digunakan dalam buku-buku kuno agama Budha untuk yang menunjukkan makna kata “tradisi”.
Kata ini sudah mulai digunakan dalam kitab Milinda dan Mahâvastu dari abad V dan seterusnya. Dalam beberapa bagian
dari kitab Sutta Pitaka yang lebih tua, kata yang sama biasanya diungkapkan dengan menggunakan kata nikaya . Alasan
perubahan ini karena kata nikaya telah men galami perubahan makna dan digunakan untuk menggambarkan kelompok
murid, sekte, atau tempat belajar dan karena itu makna kata ini menjadi ambigu. Buku-buku Budhist berbahasa
sansekerta umumnya telah menggunakan kata agama yang sepenuhnya menggantikan kata nikaya. Lihat: James Hastings
(ed.), Encyclopædia of Religion and Ethics, Vol. 1 A-Art, Edinburg: T. &T. Clark, 1908, hlm. 165
[9] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: Exposition of the Fundamental Elements
of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, hlm. 41-42
[10] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena …, hlm. 42-44
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 10
[12] Syed Farid Alatas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme , Bandung: Mizan
Publika, 2010, hlm. 196-197
[13] Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Din Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN Al-Attas , dalam Jurnal Islamia
Thn I No. 3/ September-November 2004, hlm. 49
[14] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 16-17
[15] Rasjidi, Koreksi Terhadap …, hlm. 17
[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 19-20
[17] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 21-22
[18] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 13
[19] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 18
[20] Harun Nasution, Islam Ditinjau …, jilid I, hlm. 17
[21] Rasjidi, Koreksi Terhadap …, hlm. 23; Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin , Kuala Lumpur:
ISTAC, 2001, hlm. 28-29; Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama , Kuala Lumpur: CASIS-UTM, 2013, hlm. 14
[22] Rasjidi, Koreksi Terhadap …, hlm. 20-21
[23] Rasjidi, Koreksi Terhadap …, hlm. 23-24
[24] Awalnya istilah Hindu memiliki definisi yang bersifat geografis merujuk pada keadaan manusia yang menghuni
daerah di sekitar sungai Sindu atau merujuk pada orang yang tinggal di tanah dan air sungai Indus. Menurut Sejarawan,
kata Hindu pertama kali digunakan oleh orang Persia ketika mereka datang ke India melalui jalan sebelah Barat laut
Himalaya. Kata Hindu juga digunakan oleh orang Arab. Menurut Encyclopedia of Religion and Ethics vol 6 : Ref. 699
bahwa kata Hindu tidak disebutkan dalam setiap literatur India bahkan dalam kitab sucinya sendiri sebelum muslim
datang ke India. Kata Hinduism pertama kali digunakan oleh penulis Inggris pada tahun 1830 untuk menggambarkan
agama dan kepercayaan orang India. Karena kata Hinduism itu pertama kali digunakan oleh orang Inggris, maka itu
sekarang adalah kata Inggris. Orang Hindu terpelajar keberatan terhadap penggunaan istilah itu karena istilah Hindu
mereka anggap salah kaprah. Kata yang paling tepat untuk agama Hindu seharusnya Sanatana Dharma artinya agama
yang abadi atau Vedic Dharma yang artinya agama weda. Menurut Swami Vivekananda kata Hindu itu salah kaprah.
Pengikutnya seharusnya dinamai vedantist artinya pengikut weda. Istilah Hinduism diambil dari kata Hindu dan itu
pertama kali digunakan oleh orang Inggris, orang Barat atau orang British, untuk menerangkan sekelompok kepercayaan
dan keyakinan dari orang-orang India. Jadi, awalnya istilah Hindu sebenarnya tidak merujuk pada suatu agama tertentu
dan fungsi istilah Hindu yang merujuk pada suatu sistem kepercayaan terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang
panjang. Lihat referensi diantaranya: James Hastings (ed.), Encyclopædia of Religion and Ethics, Vol. VI Fiction-Hyksos,
Edinburg: T. & T. Clark, 1914, hlm. 686-715
[25] Rasjidi, Koreksi Terhadap …, hlm. 24

Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon