LAPORAN PENDAHULUAN TYPOID LENGKAP

1.         PENGERTIAN
Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. (Simanjuntak, 2009)
Demam thypoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya  mengenai saluran  pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. (Nursalam, 2005)
Demam thypoid  merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. (Rampengan, 2007)
2.         ETIOLOGI
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a.     Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
b.    Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
c.    Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul  yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo, 2009)
3.         PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu makaSalmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. (Soedarmo, dkk., 2012)
4.         MANIFESTASI KLINIS
Menurut Sjamsuhidayat, (1998) tanda dan gejala demam typoid antara lain:
a.    Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh berangsur meningkat
b.    Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah (ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang kembung.
c.     Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah
d.   Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat.
5.         KOMPLIKASI
1.    Komplikasi intestinal
a.    Perdarahan usus
b.   Perporasi usus
c.    Ilius paralitik
2.    Komplikasi extra intestinal
a.    Komplikasi   kardiovaskuler   :   kegagalan   sirkulasi   (renjatan   sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
b.   Komplikasi darah  :  anemia  hemolitik,  trobositopenia,  dan syndroma uremia hemolitik.
c.    Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d.   Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
e.    Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
f.    Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
g.   Komplikasi   neuropsikiatrik   :   delirium,   meningiusmus,   meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
6.         PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan   penunjang   pada   klien   dengan   typhoid   adalah   pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1.        Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia   dan   limposistosis   relatif   tetapi   kenyataannya   leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang   terdapat   leukosit   walaupun   tidak   ada   komplikasi   atau infeksi   sekunder
2.        Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3.        Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah   negatif tidak  menutup kemungkinan akan  terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor:
a.    Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil   pemeriksaan   satu   laboratorium   berbeda   dengan   laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b.    Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c.    Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi   terhadap   demam   typhoid   di   masa   lampau   dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d.   Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien  sebelum pembiakan  darah sudah  mendapatkan obat   anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
4.        Uji widal
Uji   widal   adalah   suatu   reaksi   aglutinasi   antara   antigen   dan   antibodi (aglutinin).   Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a.         Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
b.        Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
c.         Aglutinin VI, yang dibuat karena rangsangan antigen VI (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
7.         PENATALAKSANAAN
1.        Observasi
a.    Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi usus.
b.    Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
c.     Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
d.   Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan diare.
2.        Diet
a.          Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
b.        Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c.         Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
d.        Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari
3.        Pengobatan
Obat-obatan yang umumnya digunakan antara lain:
A.      Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
1.    Klorampenicol
2.    Amoxicilin
3.    Kotrimoxasol
4.    Ceftriaxon
5.    Cefotaxim
B.       Antipiretik (Menurunkan panas): Paracetamol
(Smeltzer & Bare. 2002)
8.         KONSEP DASAR KEPERAWATAN
a.         Pengkajian
1)        Identitas klien
Meliputi   nama,   umur,   jenis   kelamin,   alamat,   pekerjaan,   suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik
2)        Keluhan utama
Keluhan  utama  demam thypoid adalah panas  atau demam yang  tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3)        Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi   ke dalam tubuh.
4)        Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.
5)        Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6)        Pola-pola fungsi kesehatan
a)         Pola nutrisi dan metabolisme
Klien   akan   mengalami   penurunan   nafsu   makan   karena   mual   dan muntah   saat   makan   sehingga   makan   hanya   sedikit   bahkan   tidak makan  sama sekali.
b)        Pola eliminasi
Klien dapat mengalami  konstipasi   oleh   karena   tirah baring lama.  Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine   menjadi   kuning   kecoklatan.    Klien   dengan   demam   thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan   merasa   haus,   sehingga   dapat   meningkatkan   kebutuhan   cairan tubuh.
c)         Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
d)        Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
e)         Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.
f)         Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
b.        Pemeriksaan fisik
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 41°C muka kemerahan. Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
9.         DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)   Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma
2)   Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral yang kurang (mual, muntah)
3)   Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi
10.     INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Dx
Tujuan Dan Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh pasien dapat turun, kriteria:
-   Suhu tubuh stabil 36-37 C
-    Tanda-tanda vital dalam rentang normal
1.    Pantau suhu tubuh pasien setiap 4 jam
2.    Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai anjuran
3.    Turunkan panas dengan melepaskan selimut atau menanggalkan pakian yang terlalu tebal, beri kompres pada aksila dan liatan paha.
4.    Observasi adanya konfusi disorientasi
5.    Berikan cairan IV sesuai yang dianjurkan.
1.     Mengetahui suhu tubuh klien
2.     Menurunkan demam.
3.     Meningkatkan kenyaman, menurunkan temperatur suhu tubuh
4.     Perubahan tingkat kesadaran dapat merupakan akibat dari hipoksia jaringan
5.     Menghindari kehilangan air natrium klorida dan kalium yang berlebihan.
2
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan terpenuhi, kriteria
-       Tidak mual
-       Tidak demam
-       Suhu tubuh dalam batas normal
1.    Jelaskan kepada pasien tentag pentingnya cairan
2.    Monitor dan catat intake dan output cairan
3.    Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit
4.    Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan
5.    Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat
6.    Kolaborasi pemberian cairan intravena
1.     Agar   pasien   dapat   mengetahui   tentang   pentingnya   cairan   dan   dapat   memenuhi kebutuhan cairan.
2.     Untuk mengetahui keseimbangan intake da output cairan
3.     Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau efek dari kehilangan caira
4.     Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan caira
5.     Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh
6.     Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi kebutuhan cairan yang hilang
3
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukkan tingkat kenyamanan meningkat, kriteria:
-     Pasien dapat melaporkan nyeri berkurang  Frekuensi nyeri
-     Tanda-tanda vital dalam batas normal
1.  Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensi
2.  Observasi  reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
3.  Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
4.  Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri.
5.  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
1.      Respon nyeri sangat individual sehingga penangananya pun berbeda untuk masing-masing individu.
2.      Menngetahui tingkat kenyamanan
3.      Lingkungan yang nyaman dapat membantu klien untuk mereduksi nyeri.
4.      Pengalihan nyeri dengan relaksasi dan distraksi dapat mengurangi nyeri yang sedang timbul.
5.      Pemberian analgetik yang tepat dapat membantu klien untuk beradaptasi dan mengatasi nyeri.

DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Susilo. (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika
Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Simanjuntak, C. H. (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83. Jakarta. Nuha
Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Soedarmo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI
Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon