BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sarkoma
osteogenik (Osteosarkoma) merupakan neoplasma tulang primer yang sangat
ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang. Tempat yang paling
sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama
lutut. ( Price, 1962:1213 )
Menurut
badan kesehatan dunia ( World Health Oganization ) setiap tahun jumlah
penderita kanker ± 6.25 juta orang. Di Indonesia diperkirakan terdapat
100 penderita kanker diantara 100.000 penduduk per tahun. Dengan jumlah
penduduk 220 juta jiwa terdapat sekitar 11.000 anak yang menderita
kanker per tahun. Di Jakarta dan sekitarnya dengan jumlah penduduk 12
juta jiwa, diperkirakan terdapat 650 anak yang menderita kanker per
tahun. ( www.mail-archive.com
)
)
Menurut
Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah Orthopedy
Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat
455 kasus tumor tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas
(72%) dan 128 kasus tumor tulang jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang
osteosarkoma merupakan tumor ganas yang sering didapati yakni 22% dari
seluruh jenis tumor tulang dan 31 % dari seluruh tumor tulang ganas.
Dari jumlah seluruh kasus tumor tulang 90% kasus datang dalam stadium
lanjut. (www.kompas.com
)
)
Angka
harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi
penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5
tahun setelah penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker
tulang kerap datang dalam keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya
menjadi lebih sulit. Jika tidak segera ditangani maka tumor dapat
menyebar ke organ lain, sementara penyembuhannya sangat menyakitkan
karena terkadang memerlukan pembedahan radikal diikuti kemotherapy.
Kanker
tulang ( osteosarkoma ) lebih sering menyerang kelompok usia 15 – 25
tahun ( pada usia pertumbuhan ). ( Smeltzer. 2001: 2347 ). Rata-rata
penyakit ini terdiagnosis pada umur 15 tahun. Angka kejadian pada anak
laki-laki sama dengan anak perempuan. Tetapi pada akhir masa remaja
penyakit ini lebih banyak di temukan pada anak laki-laki. Sampai
sekarang penyebab pasti belum diketahui. ( www.medicastore.com
)
)
Melihat
jumlah kejadian diatas serta kondisi penyakit yang memerlukan
pendeteksian dan penanganan sejak dini, penulis tertarik untuk melakukan
” Asuhan Keperawatan pada Tn.H dengan Osteosarkoma pada tibia proximal
kiri di ruang 412 lantai 4 Public Wing RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo
Jakarta”.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk
mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata dalam melakukan asuhan
keperawatan osteosarkoma pada Tn.H di ruang 412 lantai 4 Public Wing
RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta.
- Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan meliputi :
- Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan osteosarkoma
- Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
Osteosarkoma.
- Mampu membuat rencana keparawatan pada pasien dengan osteosarkoma.
- Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Osteosarkoma.
- Mampu mengevaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteosarkoma.
- Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteosarkoma.
- Mampu mengidentifikasi solusi dalam faktor-faktor penghambat pada pasien dengan Osteosarkoma.
- Metode Penulisan
Metode
yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode
deskriptif yaitu menggambarkan secara langsung melalui pendekatan proses
keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara,
pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data
dari catatan medik klien.
- Sistematika Penulisan
Untuk
memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dari laporan kasus
ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis, dibagi menjadi 5 bab
yaitu :
BAB I. Pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II. Tinjauan teoritis meliputi konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan.
BAB III. Tinjauan kasus meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi keperawatan.
BAB
IV. Pembahasan yang membahas tentang kesenjangan antara kasus yang
ditemukan dengan teori yang didapatkan meliputi definisi, rasional
terhadap diagnosa keperawatan yang ditemukan, faktor penunjang, faktor
penghambat serta solusi ( pemecahan masalah ).
BAB V. Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
- Konsep Dasar Osteosarkoma
- Pengertian
Sarkoma
adalah tumor yang berasal dari jaringan penyambung (Danielle. 1999: 244
). Kanker adalah neoplasma yang tidak terkontrol dari sel anaplastik
yang menginvasi jaringan dan cenderung bermetastase sampai ke sisi yang
jauh dalam tubuh.( Wong. 2003: 595 )
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul dari mesenkim pembentuk tulang. ( Wong. 2003: 616 )
Sarkoma
osteogenik ( Osteosarkoma ) merupakan neoplasma tulang primer yang
sangat ganas. Tumor ini tumbuh dibagian metafisis tulang tempat yang
paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang,
terutama lutut. ( Price. 1998: 1213 )
Osteosarkoma
( sarkoma osteogenik ) merupakan tulang primer maligna yang paling
sering dan paling fatal. Ditandai dengan metastasis hematogen awal ke
paru. Tumor ini menyebabkan mortalitas tinggi karena sarkoma sering
sudah menyebar ke paru ketika pasien pertama kali berobat.( Smeltzer.
2001: 2347 )
Tempat-tempat
yang paling sering terkena adalah femur distal, tibia proksimal dan
humerus proksimal. Tempat yang paling jarang adalah pelvis, kolumna,
vertebra, mandibula, klavikula, skapula, atau tulang-tulang pada tangan
dan kaki. Lebih dari 50% kasus terjadi pada daerah lutut. ( Otto.2003 :
72 )
2. Etiologi
- Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi
- Keturunan
- Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat pajanan radiasi ).
( Smeltzer. 2001: 2347 )
- Patofisiologi
Adanya
tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor.
Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses
destruksi atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses
pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses
osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum
tulang yang baru dekat lempat lesi terjadi sehingga terjadi pertumbuhan
tulang yang abortif.
Adanya tumor tulang
Jaringan lunak di invasi
oleh tumor
Reaksi tulang normal
Osteolitik (destruksi tulang) Osteoblastik (pembentukan tulang)
destruksi tulang lokal Periosteum tulang yang baru dapat tertimbun dekat tempat lesi
Pertumbuhan tulang yang abortif
( sumber : Price.1998: 1213 )
- Manifestasi klinik
- Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas penyakit)
- Fraktur patologik
- Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas
( Gale. 1999: 245 )
- Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran vena
- Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan menurun dan malaise.
( Smeltzer. 2001: 2347 )
- Penatalaksanaan
- Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan
tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis.
Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor,
pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara
maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan
meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi kombinasi.
Osteosarkoma
biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan kemoterapi.
Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin
(doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate
dosis tinggi (MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin digunakan secara
tersendiri atau dalam kombinasi.
Bila
terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian
cairan normal intravena, diurelika, mobilisasi dan obat-obatan seperti
fosfat, mitramisin, kalsitonin atau kortikosteroid.
( Gale. 1999: 245 ).
- Tindakan keperawatan
- Manajemen nyeri
Teknik
manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam,
visualisasi, dan bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian
analgetika ).
- Mengajarkan mekanisme koping yang efektif
Motivasi
klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, dan berikan
dukungan secara moril serta anjurkan keluarga untuk berkonsultasi ke
ahli psikologi atau rohaniawan.
- Memberikan nutrisi yang adekuat
Berkurangnya
nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek samping
kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang adekuat.
Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi
gastrointestinal. Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai
dengan indikasi dokter.
- Pendidikan kesehatan
Pasien
dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang kemungkinan
terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan luka di
rumah.
( Smeltzer. 2001: 2350 )
- Pemerikasaan Diagnostik
- CT Scan
- Mielogram
- Asteriografi
- MRI
- Biopsi,
- Pemeriksaan biokimia darah dan urine
- Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk follow-up adanya stasis pada paru-paru.
( Rasjad. 2003 )
- Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Osteosarkoma
- Pengkajian
a. Wawancara
Dapatkan
riwayat kesehatan, proses penyakit, bagaimana keluarga dan pasien
mengatasi masalahnya dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang
dideritanya. Berikan perhatian khusus pada keluhan misalnya : keletihan,
nyeri pada ekstremitas, berkeringat pada malam hari, kurang nafsu
makan, sakit kepala, dan malaise.
b. Pemeriksaan fisik
- Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran vena
- Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas
- Nyeri tekan / nyeri lokal pada sisi yang sakit
- mungkin hebat atau dangkal
- sering hilang dengan posisi flexi
- anak berjalan pincang, keterbatasan dalam melakukan aktifitas, tidak mampu menahan objek berat
- Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe regional
c. Pemeriksaan Diagnostik
- Radiografi
Adalah penggunaan sinar pengionan (sinar X, sinar gama) untuk membentuk bayangan benda yang dikaji pada film
.
- Tomografi,
Adalah
sebuah metode penggambaran medis menggunakan tomografi di mana
pemrosesan geometri digunakan untuk menghasilkan sebuah gambar tiga
dimensi bagian dalam sebuah objek dari satu seri besar gambar sinar-X
dua dimensi diambil dalam satu putaran “axis”
- Pemindaian tulang,
- Radioisotop, atau biopsi tulang bedah,
- Tomografi paru,
- Aspirasi sumsum tulang (sarkoma ewing).
( Wong. 2003: 616 )
- Diagnosa
- Nyeri yang berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan
- Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan, persepsi tentang proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat
- Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik berkenaan dengan kanker.
- Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran
( Doenges. 1999: 1000 )
- Berduka berhubungan dengan kemungkinan kehilangan alat gerak
( Wong. 2003: 617 )
- Intervensi
Dx 1
Tujuan: klien mengalami pengurangan nyeri
KH :
- Mengikuti aturan farmakologi yang ditentukan
- Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai indikasi situasi individu.
Intervensi :
- Kaji status nyeri ( lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri )
R/ memberikan data dasar untuk menentukan dan mengevaluasi intervensi yang diberikan.
- Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktivitas hiburan ( misalnya : musik, televisi )
R/ meningkatkan relaksasi klien.
- Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi, dan bimbingan imajinasi.
R/ meningkatkan relaksasi yang dapat menurunkan rasa nyeri klien
Kolaborasi :
- Berikan analgesik sesuai kebutuhan untuk nyeri.
R/ mengurangi nyeri dan spasme otot
( Doenges. 1999: 1005 )
Dx 2
Tujuan : Mendemonstrasikan penggunaan mekanisme koping efektif dan partisipasi aktif dalam aturan pengobatan
KH :
- Pasien tampak rileks
- Melaporkan berkurangnya ansietas
- Mengungkapkan perasaan mengenai perubahan yang terjadi pada diri klien
Intervensi :
- Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan.
R/ memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut serta kesalahan konsep tentang diagnosis
- Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.
R/ membina hubungan saling percaya dan membantu pasien untuk merasa diterima dengan kondisi apa adanya
- Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.
R/ memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri atau ditolak.
- Berikan informasi akurat, konsisten mengenai prognosis.
R/ dapat menurunkan ansietas dan memungkinkan pasien membuat keputusan atau pilihan sesuai realita.
( Doenges. 1999: 1000 )
Dx 3
Tujuan : mengalami peningkatan asupan nutrisi yang adekuat
KH : penambahan berat badan
bebas tanda malnutrisi
nilai albumin dalam batas normal ( 3,5 – 5,5 g% )
Intervensi :
- Catat asupan makanan setiap hari
R/ mengidentifikasi kekuatan atau defisiensi nutrisi.
- Ukur tinggi, berat badan, ketebalan kulit trisep setiap hari.
R/
mengidentifikasi keadaan malnutrisi protein kalori khususnya bila berat
badan dan pengukuran antropometrik kurang dari normal
- Berikan diet TKTP dan asupan cairan adekuat.
R/ memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Asupan cairan adekuat untuk menghilangkan produk sisa.
Kolaborasi :
- Pantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
R/ membantu mengidentifikasi derajat malnutrisi
( Doenges. 1999: 1006 )
Dx 4
Tujuan : mengungkapan perubahan pemahaman dalam gaya hidup tentang tubuh, perasaan tidak berdaya, putus asa dan tidak mampu.
KH :
- Mulai mengembangkan mekanisme koping untuk menghadapi masalah secara efektif.
Intervensi :
- Diskusikan dengan orang terdekat pengaruh diagnosis dan pengobatan terhadap kehidupan pribadi pasien dan keluarga.
R/ membantu dalam memastikan masalah untuk memulai proses pemecahan masalah.
- Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker atau pengobatan.
R/ membantu dalam pemecahan masalah
- Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara dengan menyentuh pasien
R/ menunjukkan rasa empati dan menjaga hubungan saling percaya
dengan pasien dan keluarga. ( Doenges. 1999: 1004 )
Dx. 5
Tujuan : Keluarga dan klien siap menghadapi kemungkinan kehilangan anggota gerak.
KH : Pasien menyesuaikan diri terhadap kehilangan anggota gerak
Mengalami peninggkatan mobilitas
Intervensi :
- Lakukan pendekatan langsung dengan klien.
R/ meningkatkan rasa percaya dengan klien.
- Diskusikan kurangnya alternatif pengobatan.
R/ memberikan dukungan moril kepada klien untuk menerima pembedahan.
- Ajarkan penggunaan alat bantu seperti kursi roda atau kruk sesegera mungkin sesuai dengan kemampuan pasien.
R/ membantu dalam melakukan mobilitas dan meningkatkan kemandirian pasien.
- Motivasi dan libatkan pasien dalam aktifitas bermain
R/ secara tidak langgsung memberikan latihan mobilisasi
( Wong. 2003: 617 )
- Evaluasi
- Pasien mampu mengontrol nyeri
- Melakukan teknik manajemen nyeri,
- Patuh dalam pemakaian obat yang diresepkan.
- Tidak mengalami nyeri atau mengalami pengurangan nyeri saat istirahat, selama menjalankan aktifitas hidup sehari-hari
- Memperlihatkan pola penyelesaian masalah yang efektif.
- Mengemukakan perasaanya dengan kata-kata
- Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki pasien
- Keluarga mampu membuat keputusan tentang pengobatan pasien
- Masukan nutrisi yang adekuat
- Mengalami peningkatan berat badan
- Menghabiskan makanan satu porsi setiap makan
- Tidak ada tanda – tanda kekurangan nutrisi
- Memperlihatkan konsep diri yang positif
- Memperlihatkan kepercayaan diri pada kemampuan yang dimiliki pasien
- Memperlihatkan penerimaan perubahan citra diri
- Klien dan keluarga siap untuk menghadapi kemungkinan amputasi
- Konsep Dasar Amputasi
- Pengertian
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.
Amputasi
dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau
seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang
dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang
terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan
menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan
keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain
seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.
Kegiatan
amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh
seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan
sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah
psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan
penurunan produktifitas.
- Penyebab / faktor predisposisi terjadinya amputasi
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
- Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
- Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
- Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
- Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
- Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
- Deformitas organ.
- Jenis Amputasi
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
- Amputasi selektif/terencana
Amputasi
jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat
penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi
dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir
- Amputasi akibat trauma
Merupakan
amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.
Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta
memperbaiki kondisi umum klien.
- Amputasi darurat
Kegiatan
amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya
merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma
dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
Jenis amputasi yang dikenal adalah :
- Amputasi terbuka (guillotine amputasi)
Amputasi
terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan
pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Metode ini digunakan pada
klien dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-benar terbuka dan
dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak
terinfeksi.
- Amputasi tertutup (flap amputasi)
Amputasi
tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat
skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5
sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Pada metode ini, kulit
tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang
diamputasi.
Setelah
dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi
perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan
otot/mencegah kontraktur, dan mempertahankan intaks jaringan.
- Tingkatan Amputasi
- Ekstremitas atas
Amputasi
pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi,
berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.
- Ekstremitas bawah
Amputasi
pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari
kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya.
Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu :
a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).
Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb.
b. Amputasi diatas lutut
Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer.
- Nekrosis. Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.
- Kontraktur. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan.
- Neuroma. Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong tdrlalu rendah sehingga melengket dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong saraf lebih proximal dari stump sehingga tertanam di dalam otot.
- Phantom sensation. Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan, stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.
- Penatalaksanaan Amputasi
Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi.
Ada 2 cara perawatan post amputasi yaitu :
- Rigid dressing
Yaitu
dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar
operasi. Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus
immobilisasi atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan
memperhatikan jangan sampai menyebabkan konstriksi stump dan memasang
balutan pada ujung stump serta tempat-tempat tulang yang menonjol.
Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi nyeri dan
mempercepat posisi berdiri.
Setelah
pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera,
mobilisasi setelah 7 – 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah
2 – 3 minggu, setelah stump sembuh dan mature. Namun untuk mobilisasi
dengan rigid dressing ini dipertimbangkan juga faktor usia, kekuatan,
kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil, therapist dan
prosthetist serta kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan
supervisi program perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 – 10
post operasi untuk melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang
kendor atau tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik.
- Soft dressing
Yaitu
bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut
steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang
cukup. Harus diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai
menyebabkan konstriksi pada stump. Ujung stump dielevasi dengan
meninggikan kaki tempat tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal
bantal pada stump tidak baik sebab akan menyebabkan fleksi kontraktur.
Biasanya luka diganti balutan dan drain dicabut setelah 48 jam. Ujung
stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien diizinkan secepat
mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya jahitan
dibuka pada hari ke 10 – 14 post operasi. Pada amputasi diatas lutut,
penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal
ini perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
- Dampak Masalah Terhadap Sistem Tubuh.
- Kecepatan metabolisme
Jika
seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan
pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga
menurunkan kecepatan metabolisme basal.
- Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya
penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar
dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal
ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang
interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema.
Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan
kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk
menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
- Sistem respirasi
- Penurunan kapasitas paru
Pada
klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot
intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai
inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
- Perubahan perfusi setempat
Dalam
posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan
rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan
terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi
hipoksia.
- Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat
immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan
sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan
mengganggu gerakan siliaris normal.
- Sistem Kardiovaskuler
- Peningkatan denyut nadi
Terjadi
sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan
mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada
pasien dengan immobilisasi.
- Penurunan cardiac reserve
Dibawah
pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan
waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.
- Orthostatik Hipotensi
Pada
keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
anterior dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi
lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di
ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah
ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak
dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat
bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.
- Sistem Muskuloskeletal
- Penurunan kekuatan otot
Dengan
adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2
dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan
pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan
otot.
- Atropi otot
Karena
adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan
fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis
otot.
- Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan gerak.
- Osteoporosis
Terjadi
penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik
dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.
- Sistem Pencernaan
- Anoreksia
Akibat
penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi
kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan
kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.
- Konstipasi
Meningkatnya
jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus
menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon,
menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar.
- Sistem perkemihan
Dalam
kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing
berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya
gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan :
- Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.
- Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.
- Sistem integumen
Tirah
baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong
akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan
nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia,
hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit
dimasase untuk meningkatkan suplai darah.
- Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Amputasi
Kegiatan
keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap
yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap
postoperatif.
- Pre Operatif
Pada
tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya
untuk mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi
kegiatan operasi.
Pada
tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi
fisik, khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk
menjalani operasi.
Pengkajian Riwayat Kesehatan
Perawat
memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat
mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes
mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat
juga mengkaji riwayat penggunaan rokok dan obat-obatan.
Pengkajian Fisik
Pengkajian
fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien
secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala
tindakan amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk
mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/
tindakan darurat.
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi :
SISTEM TUBUH
|
KEGIATAN
|
Integumen :
Kulit secara umum.
Lokasi amputasi
|
|
Sistem Cardiovaskuler :
Cardiac reserve
Pembuluh darah
|
|
Sistem Respirasi
|
|
Sistem Urinari
|
|
Cairan dan elektrolit
|
|
Sistem Neurologis
|
|
Sistem Mukuloskeletal
|
|
Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual
Disamping
pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi
psikologis ( respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi
kecemasan pada klien melalui penilaian klien terhadap amputasi yang akan
dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak amputasi terhadap
gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri.
Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi
terhadap nyeri yang mungkin timbul.
Perawat
melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan
tingkatr persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri
klien dengan meninjau persepsi klien terhadap perilaku yang telah
dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh klien
sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan
penampilan peran dan gangguan identitas.
Adanya
gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan
bersama-sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan
pemilihan koping konstruktif.
Adanya
masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan
fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah
klien benar-benar siap untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri.
Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha berbuat yang terbaik
bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk
melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre
operatif. Asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak
dibahas pada makalah ini.
Laboratorik
Tindakan
pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau
melalui pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien
yang akan dioperasi yang meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi
ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.
Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan
Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul antara lain :
- Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
Karakteristik penentu :
- Mengungkapkan rasa tajut akan pembedahan.
- Menyatakan kurang pemahaman.
- Meminta informasi.
Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang.
Kriteria evaluasi :
- Sedikit melaporkan tentang gugup atau cemas.
- Mengungkapkan pemahaman tentang operasi.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Memberikan bantuan secara fisik dan psikologis, memberikan dukungan moral.
Menerangkan prosedur operasi dengan sebaik-baiknya.
Mengatur waktu khusus dengan klien untuk berdiskusi tentang kecemasan klien.
|
Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan meningkatkan rasa saling percaya.
Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/ persepsi klien.
Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih akurat.
|
- Berduka yang antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi.
Karakteristik penentu :
- Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian.
- Takut kecacatan.
- Rendah diri, menarik diri.
Tujuan : Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra diri.
Kriteria evaluasi :
- mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut.
- Menyatakan perlunya membuat penilaian akan gaya hidup yangbaru.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang dampak pembedahan pada gaya hidup.
Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang alasan pemilihan tindakan pemilihan amputasi.
Berikan
informasi bahwa amputasi merupakan tindakan untuk memperbaiki kondisi
klien dan merupakan langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan
atau kondisi yang lebih parah.
Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan terhadap situasi amputasi.
|
Mengurangi rasa tertekan dalam diri klien, menghindarkan depresi, meningkatkan dukungan mental.
Membantu klien mengapai penerimaan terhadap kondisinya melalui teknik rasionalisasi.
Meningkatkan dukungan mental.
Strategi untuk meningkatkan adaptasi terhadap perubahan citra diri.
|
Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain :
- Mengatasi nyeri
- Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
- Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
- Menerangkan pada klien bahwa klien akan “merasakan” adanya kaki untuk beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki protese atau ketika belajar mengenakan kaki protese.
- Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif
- Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 – 2 jam untuk mencegah kontraktur.
- Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut dan dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.
- Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi, untuk membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi, memprtahankan fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.
- Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan
- Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim bedah.
- Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu ( karena tidak semua klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti pada penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler perifer, luka yang terbuka ).
- Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan protese.
- Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.
- Intra Operatif
Pada
masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik
klie. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah
untuk menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi
pembedahan.
Perawat
berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan
oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas,
pencegahan injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus
untuktindakan perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur
operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan
drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya dimasa
postoperatif.
- Post Operatif
Pada
masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan
tanda-tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas
bawah diatas lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa.
Perawat
melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara
rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan
oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang
selama operasi dan mencegah injuri.
Daerah
luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya
perdarahan masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau
terlalu ketat. Selang drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan
saluran drain tersumbat oleh clot darah.
Awal
masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara
umum yaitu menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum
klien.
Perawat
bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang
dapat menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien.
Berikutnya
fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk
membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka.
Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat
timbul pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan
seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi.
Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat
klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada
daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus membantu klien
mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh
klien benar adanya.
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain adalah :
- Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
- Menyatakan nyeri.
- Merintih, meringis.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
Kriteria evaluasi :
- Menyatakan nyeri hilang.
- Ekspresi wajah rileks.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi panthom limb atau dari luka insisi. Bila terjadi nyeri panthom limb
Beri analgesik ( kolaboratif ).
Ajarkan klien memberikan tekanan lembut dengan menempatkan puntung pada handuk dan menarik handuk dengan berlahan.
|
Sensasi panthom limb memerlukan waktu yang lama untuk sembuh daripada nyeri akibat insisi.
Klien sering bingung membedakan nyeri insisi dengan nyeri panthom limb.
Untuk menghilangkan nyeri
Mengurangi nyeri akibat nyeri panthom limb
|
- Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
- Menyatakan berduka tentang kehilangan bagian tubuh.
- Mengungkapkan negatif tentang tubuhnya.
- Depresi.
Tujuan : Mendemontrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.
Kriteria evaluasi :
- Menyatakan penerimaan terhadap penerimaan diri.
- Membuat rencana untuk melanjutkan gaya hidup.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Validasi masalah yang dialami klien.
Libatkan klien dalam melakukan perawatan diri yang langsung menggunakan putung :
Berikan dukungan moral.
Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah menerima diri.
|
Meninjau perkembangan klien.
Mendorong antisipasi meningkatkan adaptasi pada perubahan citra tubuh.
Meningkatkan status mental klien.
Memfasilitasi penerimaan terhadap diri.
|
- Resiko tinggi terhadap komplikasi : Infeksi, hemorragi, kontraktur, emboli lemak berhubungan dengan amputasi
Karakteristik penentu :
- Terdapat tanda resiko infeksi, perdarahan berlebih, atau emboli lemak.
Tujuan : tidak terjadi komplikasi.
Kriteria evaluasi : tidak ada infeksi, hemorragi dan emboli lemak.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Infeksi
Lakukan perawatan luka adekuat.
|
Mencegah terjadinya infeksi.
|
Perdarahan
Pantau :
-Masukan dan pengeluaran cairan.
- Tanda-tanda vital tiap 4 jam.
- Kondisi balutan tiap 4-8 jam.
|
Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.
Sebagai monitor status hemodinamik
Indikator adanya perdaraham masif
|
Emboli lemak
Monitor pernafasan.
Persiapkan oksigen
Pertahankan posisi flower atau tetap tirah baring selama beberapa waktu
|
Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin
Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu dperlukan untuk tindakan yang cepat.
Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau memudahkan pernafasan.
|
Beberapa kegiatan keperawatan lain yang dilakukan adalah :
- Melakukan perawatan luka postoperasi
- Mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka.
- Terangkan bahwa balutan mungkin akan digunakan hingga protese yang digunakan telah tepat dengan kondisi daerah amputasi (6 bulan –1 tahun).
- Membantu klien beradaptasi dengan perubahan citra diri
- Memberi dukungan psikologis.
- Memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini.
- Mencegah kontraktur
- Menganjurkan klien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi segera setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi.
- Menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya kontraktur.
- Aktivitas perawatan diri
- Diskusikan ketersediaan protese ( dengan terapis fisik, ortotis ).
- Mengajari klien cara menggunakan dan melepas protese.
- Menyatakan bahwa klien idealnya mencari bantuan/superfisi dari tim rehabilitasi kesehatan selama penggunaan protese.
- Mendemontrasikan alat-alat bantu khusus.
- Mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan protese.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Pada
bab ini akan diuraikan tentang pelakanaaan auhan keperawatan pada Tn. H
yang berusia 34 tahun dengan diagnosa Osteosarkoma Proximal Tibia Post
ECI di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di lantai 4 public
wing. Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan selama tiga hari mulai
tanggal 28 oktober 2009 sampai tanggal 30 oktober 2009.
- Gambaran kasus
Klien
bernama Tn. H (34 tahun), jenis kelamin laki-laki, status kawin, agama
islam, suku jawa, pendidikan terakhir tamat SMA, bahasa yang digunakan
bahasa indonesia, belum mempunyai pekerjaan , alamat rumah klien Bogor
Jawa Barat.
Klien masuk RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tanggal 20 oktober 2009 dengan nomor register 4252425. Adapun keluhan utama klien saat ini adalah klien mengatakan nyeri di kaki kiri skala nyeri 5, klien habis dilakukan post op amputasi.
Klien
tidak punya alergi terhadap obat atau makanan. Klien mengatakan tidak
pernah mendapatkan kecelakaan tetapi pernah dirawat di Rumah Sakit pada
tahun 2005 dilakukan biopsi pada kaki kiri dan pada tahun 2008 dilakukan
ECI dan klien dianjurkan untuk dilakukan amputasi pada kaki kirinya.
Klien
mengatakan bila mempunyai masalah, biasanya mencari istri untuk meminta
bantuan karena mereka adalah orang yang selalu dekat dengan pasien.
Klien mengatakan bahwa saat ini klien hanya berharap tentang kesembuhan
penyakitnya karena ingin cepat sembuh dan pulang. Klien mengatakan
perubahan yang saya rasakan setelah sakit, badannya lemah dan tidak bisa
beraktivitas seperti biasa meskipun demikian pasien tetap menjalankan
sholat 5 waktu setiap hari.
Pola kebiasaan klien
mengatakan sebelum sakit makan 3 kali sehari, napsu makan baik dan
makanan yang tidak disukai adalah pedas serta ikan tuna dan udang karena
dapat membuat alergi. Klien mengatakan sebelum sakit suka berolahraga
jalan-jalan 1-2 kali seminggu. Klien mengatakan tidak merokok, tidak
minum minuman keras dan tidak menggunakan NAPZA.
Dari hasil pengkajian
pemeriksaan fisik klien mempunyai berat badan 69 Kg, sebelum sakit 73 kg, Tinggi badan 165 cm, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu badan : 36,2 0 C, keadaan Umum klien sakit sedang, Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Sedangkan pada sistem penglihatan posisi mata klien baik tidak ada kelainan, kelopak mata, pergerakan bola mata, kornea, otot-otot mata dalam keadaan normal, konjungtiva merah muda, sklera Anikterik, pupil isokor, fungsi penglihatan baik dan tidak ada tanda-tanda radang. Reaksi terhadap cahaya positif kanan kiri. Klien tidak menggunakan kacamata dan lensa kontak, Dalam sistem pendengaran baik daun telinga, kondisi telinga tengah dalam keadaan normal dan tidak ada kelainan, seperti perasaan penuh di telinga, tinitus, gangguan keseimbangan, keluar cairan dari telinga. Klien juga tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
pemeriksaan fisik klien mempunyai berat badan 69 Kg, sebelum sakit 73 kg, Tinggi badan 165 cm, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu badan : 36,2 0 C, keadaan Umum klien sakit sedang, Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Sedangkan pada sistem penglihatan posisi mata klien baik tidak ada kelainan, kelopak mata, pergerakan bola mata, kornea, otot-otot mata dalam keadaan normal, konjungtiva merah muda, sklera Anikterik, pupil isokor, fungsi penglihatan baik dan tidak ada tanda-tanda radang. Reaksi terhadap cahaya positif kanan kiri. Klien tidak menggunakan kacamata dan lensa kontak, Dalam sistem pendengaran baik daun telinga, kondisi telinga tengah dalam keadaan normal dan tidak ada kelainan, seperti perasaan penuh di telinga, tinitus, gangguan keseimbangan, keluar cairan dari telinga. Klien juga tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
Sistem
wicara klien dalam keadaan normal tidak ada kelainan. Pada sistem
pernafasan jalan napas klien tidak ada sumbatan sputum tidak ada sesak,
tidak ada retraksi otot, frekuensi pernapasan 20 x/ menit. Irama
pernapasan teratur, jenis penafasan eupnea, batuk tidak ada, suara napas
vesikuler, tidak ada nyeri saat bernapas, tidak menggunakan alat bantu
bernapas, seperti oksigen. Pada sistem kardiovaskuler, Nadi klien 104 x/
menit, irama teratur, tekanan darah 110/780 mmHg, tidak ada distensi
vena jugularis, pengisian kapileri <3 detik, tidak ada edema baik
eksremitas bawah maupun atas, sedangkan pada sirkulasi jantung,
Kecepatan denyut apikal 104 x/menit, irama teratur, tidak ada kelainan
jantung, tidak ada sakit dada seperti ditusuk-tusuk ketika beraktivitas,
Sistem Hematologi
alam
gangguan hematologi : pucat (-) dan tidak ada perdarahan. Pada sistem
saraf pusat, Klien mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala, tingkat
kesadaran : komposmentis.skala GCS : E4M6V4, tidak
ada peningkatan TIK serta gangguan sistem persyarafan. Pemeriksaan
refleks fisiologis normal dan patologis tidak ada, Sedangkan pada sistem
pencernaan, Keadaan gigi tidak terdapat karies pada gigi, tidak ada
penggunaan gigi palsu, tidak ada stomatitis, lidah tidak kotor, kelenjar
saliva normal, tidak ada nyeri daerah perut, bising usus 5 x/menit,
tidak diare. Nyeri pada daerah perut tidak ada.

Sistem Endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, napas tidak berbau keton, dan tidak ada luka gangren, Pada sistem urogenital
Intake output tanggal 28 oktober 2009 pukul 05.00-13.00 WIB :
Intake output tanggal 28 oktober 2009 pukul 05.00-13.00 WIB :
Intake : – oral : 300 cc / 8 jam
- parenteral Infus RD : 600 cc / 8 jam
Jumlah : 900 cc / 8 jam
output : – BAK : 500 cc / 8 jam
- IWL : 230 cc / 8 jam
Jumlah : 730 cc / 8 jam
Balance : – 170 cc
BAK berwarna jernih, tidak ada distensi kantung kemih dan tidak ada keluhan sakit pinggang.
Pada sistem integument klien, Turgor kulit baik, suhu 36,2 0C, kedaan kulit baik, ada luka insisi operasi di daerah tibia kiri, kondisi baik tidak ada rembesan darah. Dipasang drain cairan berwarna merah darah ± 30 cc. kelainan kulit tidak ada, tidak terjadi tanda dan gejala infeksi (tumor, kalor, dolor dan fungsiolasea) pada daerah pemasangan infus serta keadaan tekstur rambut dan kebersihan baik.
Pada sistem integument klien, Turgor kulit baik, suhu 36,2 0C, kedaan kulit baik, ada luka insisi operasi di daerah tibia kiri, kondisi baik tidak ada rembesan darah. Dipasang drain cairan berwarna merah darah ± 30 cc. kelainan kulit tidak ada, tidak terjadi tanda dan gejala infeksi (tumor, kalor, dolor dan fungsiolasea) pada daerah pemasangan infus serta keadaan tekstur rambut dan kebersihan baik.
Pada sistem muskuloskeletal,
Tidak ada kelainan sistem musculoskeletal pada klien tetapi ada
kesulitan dalam pergerakan karena luka insisi operasi, tonus otot
hipotoni, kekuatan otot.
.
Sedangkan hasil laboratorium:
Hb : 15,4 g/dl ( 13-16 g/dl), Ht : 43 % (40-48 %), Leukosit : 11
Ribu/ul (5,0-10,0 Ribu/ul), Trombosit : 203 Ribu/ul (150-400 Ribu/ul),
PT : 13,5 % (10 -15 %), APTT 33,9 % (25-35 %) dan penatalaksanaan medis : Cairan : NACL 0,9 % 500 cc : 20 tetes / menit, Diit : Tinggi Kalori Tinggi Protein (tidak ada pantangan) ,Obat Post Op : Cefazolin 3 x 1 gram, ketorolac 3 x 30 mg, ranitidin 2 x 50 mg.
B. Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.
Dari
data diatas penulis mengangkat tiga diagnosa keperawatan selama 3 hari
dari tanggal 28 – 30 oktober 2009 adalah sebagai berikut :
- Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan nyeri pada kaki kiri bila digerakkan, Klien mengatakan skala nyeri 5 seperti ditusuk-tusuk, Data Objektif : Ekspresi wajah klien meringis saat kakinya digerakkan,Skala nyeri 5,Klien post op amputasi hari ke-1 atas indikasi osteosarkoma proximal tibia, Klien tampak kesakitan saat kakinya digerakkan atau diam, Tanda-tanda Vital TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam nyeri dapat berkurang atau terkontrol. Kriteria Hasil : Nyeri berkurang/hilang, Skala nyeri 0-1, Klien menunjukkan sikap santai dan rileks, Klien dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi nafas dalam, Klien dapapt mengontrol nyeri, TTV dalam batas normal: TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N : 60 – 80 kali / menit, RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36,2º C – 37ºC. Rencana keperawatan : Observasi TTV setiap 8 jam, Evaluasi skala nyeri, karakteristik dan lokasi, Atur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, Kolaborasi : Berikan obat sesuai program ketorolac 3 x 30 mg. Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: Memberikan obat ketololac 30 mg melalui vamplon, mengidentifikasi lokasi, karakteristik skala nyeri, mendiskusikan posisi yang nyaman bagi klien, mengatur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, mengajarkan teknik relaksasi napas dalam bila nyeri timbul, mengkaji skala nyeri, mengobservasi keadaan luka insisi bedah. Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : masalah nyeri pada bagian kaki kiri teratasi. S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks, Klien post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah, TTV : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control. A : Masalah nyeri pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan intervensi dx 1 - Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic verban ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan terasa saat diraba didaerah paha sebelah kiri, Klien mengatakan tidak rasa kesemutan pada daerah kaki kiri, Data Objektif : Klien terpasang elastis perban pada pangkal paha kiri, Edema disekitar luka tidak ada, Capillary refill < 3 detik, Akral Hangat, Tidak ada sianosis pada daerah pemasangan elastic perban, Kekuatan otot : , Tanda-tanda Vital : TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam klien dapat mempertahankan neurovaskuler perifer. Kriteria Hasil : Nadi perifer teraba, Ekstremitas hangat, Warna kulit tidak pucat, Capillary refill < 3 detik, Edema tidak ada, Ada sensasi (bila diraba terasa), Tidak ada kesemutan, TTV dalam batas normal :TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N : 60 – 80 kali / menit, RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36º C – 37ºC, Rencana keperawatan : Observasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda pucat dkulit dingin,Observasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan ekstremitas yang satu dengan yang lain, Pantau capillary refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas yang diamputasi, Observasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi, hiperekstensi, oposisi), Kurangi edema dengan menggerakkan pada ekstremitas yang edema, Ajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit, Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda pucat dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan ekstremitas yang satu dengan yang lain, memantau capillary refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas yang diamputasi, mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi, hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada ekstremitas yang edema, mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit. Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada kaki kiri yang terpasang elastic verban,O : – Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary refill < 3 detik, Sensasi raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 2 tidak menjadi actual, P : Hentikan intervensi Dx 2
- Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d keterbatasan mobilisasi ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya (makan, mandi) dibantu oleh keluarganya dan perawat, Klien mengatakan kaki kirinya terasa nyeri saat digerakkan, Data Objektif : Kesadaran Composmentis,Keadaan umum baik, Klien post op amputasi hari ke-1 atas indikasi osteosarkoma proximal tibia, Kebutuhan klien (mandi, makan) dibantu oleh keluarga atau perawat, Mobilisasi klien saat ini duduk dengan bantuan saat tidur kembali, Kekuatan otot : , Tanda-tanda Vital : TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam kebutuhan ADL terpenuhi. Kriteria Hasil Klien dapat beraktivitas dengan bantuan minimal, Meningkatkan fungsi tubuh yang sakit, Klien mampu melakukan ADL secara mandiri, Kekuatan otot maksimal , TTV dalam batas normal :TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N : 60 – 80 kali / menit, RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36º C – 37ºC, Rencana keperawatan : Observasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, Ajarkan teknik latihan isometrik, Bantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL, Observasi nilai kekuatan oto dan tonus otot, Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengbservasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, mengajarkan teknik latihan isometrik, membantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL, mengobservasi nilai kekuatan otot dan tonus ototEvaluasi tanggal 30 desember 2008 : S : Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya sudah dapat dilakukan sendiri seperti makan dan minum, O : – Keadaan Umum baikKesadaran composmentis, Klien dapat melakukan kegiatan makan, minum secara mandiri, Kegiatan mandi dan BAB masih membutuhkan bantuan dari keluarga, Kekuatan otot, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 3 teratasi, P : Hentikan intervensi Dx 3
- Resiko terjadinya infeksi b.d pembedahan pot op amputasi dan pemasangan alat invasive kateter dan infus ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan nyeri pada area luka amputasi, Klien mengatakan tidak ada rasa nyeri pada daerah pemasangan infus dan kateter, Data Objektif : Terdapat luka post op hari ke-1, Balutan luka tidak ada rembesan, Panjang dan lebar luka belum terkaji karena belum dilakukan dreesing, Klien terpasang drain, cairan drainase 30 cc berwarna merah, Balutan albocath tampak bersih, Tanda-tanda infeksi (rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesa) tidak ada, Klien terpasang DC (drain cateter) sejak tanggal 27-10-2009, Tanda-tanda infeksi pada daerah pemasangan kateter tidak ada, Warna urine kuning jernih, aliran urine lancer, tidak ada nyeri pada daerah pemasangan kateter, Leukosit 11.000 /ul (N : 5000-10.000/ul), Tanda-tanda Vital TD : 110/80 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam resiko infeksi tidak menjadi aktual, Kriteria Hasil : Balutan luka bersih, Tidak ada rembesan darah, Balutan albocath bersih, Tidak ada phlebitis pada pemasangan albocath, Warna urine jernih, Leukosit dalam batas jumlah normal (5000-10000/ul), , TTV dalam batas normal: TD : 110/70 – 120/80 mmHg, N : 60 – 80 kali / menit, RR : 16 – 20 kali / menit, S : 36º C – 37ºC. Rencana keperawatan : Ukur TTV setiap 8 jam, Observasi luka terhadap infeksi, Lakukan perawatan luka 1 kali/hari, Berikan diet tinggi kalori dan tinggi protein, Catat jumlah dan warna drainase, Ganti balutan luka albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari, Kolaborasi : Pemeriksaan Laboratorium ( Leukosit, LED), Berikan obat Cefazolin 3 x 1 gr, Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengukur TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap infeksi, melakukan perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein, mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari, berkolaborasi : memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr. Evaluasi tanggal 30 desember 2008 :S : - O: Keadaan Umum baik, Kesadaran composmentis, Klien post op amputasi hari ke-2, Tidak ada rembesan luka, Elastic verban baik, Albocath sudah di aff, Kateter sudah di aff, Tanda-tanda infeksi tidak ada, Leukosit 11.900/ul, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Masalah Dx 4 tidak menjadi aktual, P : Hentikan intervensi Dx 4
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada
bab ini penulis akan membahas masalah yang terjadi pada kasus kelolaan,
yaitu tentang kesenjangan antara teori dan kasus pada Tn. H dengan
Osteosarkoma Proximal Tibia Post ECI di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto
Mangunkusumo di lantai 4 public wing yang dilaksanakan pada tanggal
28-30 Oktober 2009. Pembahasan ini meliputi definisi, rasional, data
yang menunjang, intervensi, implementasi, dan evaluasi, juga analisa
faktor pendukung dan penghambat serta solusi dari tiap masalah diagnosa
keperawatan yang muncul.
Diagnosa pertama : Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi
Definisi
: Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dan
meningkat akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial,
digambarkan dalam istilah seperti kerusakan (Internasional Asosiation
For The Study Of Pain) ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dan
intensitas sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat
diramalkan durasinya kurang dari 6 bulan. (Wilkinson, 2006)
Rasional
: adanya kerusakan jaringan akibat luka insisi pasca operatif amputasi
proximal tibia menyebakan terjadinya sensasi nyeri sehingga menimbulkan
suatu stressor pada klien yang mengganggu klien dalam beraktivitas
Intervensi keperawatan : Mengobservasi
TTV setiap 8 jam, mengevaluasi skala nyeri, karakteristik dan lokasi,
mengatur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal,
mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, Kolaborasi : memberikan obat
sesuai program ketorolac 3 x 30 mg.
Implementasi keperawatan : Memberikan
obat ketololac 30 mg melaluiI vamplon mengidentifikasi lokasi,
karakteristik skala nyeri, mendiskusikan posisi yang nyaman bagi klien,
mengatur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal,
mengajarkan teknik relaksasi napas dalam bila nyeri timbul, mengkaji
skala nyeri, mengobservasi keadaan luka insisi bedah..
Evaluasi keperawatan : S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks, Klien post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah, TTV : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control. A : Masalah nyeri pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan intervensi dx 1
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks, Klien post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah, TTV : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control. A : Masalah nyeri pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan intervensi dx 1
Faktor pendukung : klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam yang berfungsi memperlancar O2
ke jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri dan klien mendapat terapi
ketorolac 3 30 mg sehingga rangsangan nyeri tidak sampai ke sistem saraf
pusat kesadaran.
Faktor penghambat : Tidak ada
Solusi : Tidak ada
Diagnosa kedua : Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic verban
Definisi :
suatu keadaaan dimana tingkat saat system saraf perifer menerima,
memproses dan merespons stimulus internal dan eksternal mengalami
gangguan ( Wilkinson,2007:10).
Rasional
: gangguan neurovaskuler dapat terjadi pada klien yang mengalami
amputasi karena mendapat balutan elastic verban hal ini dikarenakan
elastic verban secara tidak langsung menekan saraf perifer sehinggan
saraf perifer tidak berfungsi yang dapat mengakibatkan tidak adanya rasa
saat adanya rasangan.
Intervensi keperawatan
: Mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda pucat
dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler
bandingkan ekstremitas yang satu dengan yang lain, memantau capillary
refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas yang diamputasi,
mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi,
hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada
ekstremitas yang edema, mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang
kaki yang sakit.
Implementasi keperawatan :
Mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda pucat
dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler
bandingkan ekstremitas yang satu dengan yang lain, memantau capillary
refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas yang diamputasi,
mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi,
hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada
ekstremitas yang edema, mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang
kaki yang sakit.
Evaluasi keperawatan : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada kaki kiri yang terpasang elastic verban,O
: – Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary refill < 3 detik,
Sensasi raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg,
RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 2 tidak menjadi actual, P : Hentikan intervensi Dx 2
Faktor pendukung
: klien mau mengikuti perawat untuk melakukan gerakan isometrik untuk
merangsang saraf pertifer dank lien terlihat aktif belajar mobilisasi
sehingga aliran darah perifer menjadi adekuat
Faktor penghambat : Tidak ada
Solusi : Tidak ada
Diagnosa ketiga : Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d keterbatasan mobilisasi
Definisi :
keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami
keterbatasan gerak fisik, tetapi bukan imobilitas sehingga menyebabkan
kebutuhan ADl klien terganggu.
Rasional :
kerusakan mobilitas fisik menggambarkan seorang individu dengan
keterbatasan pengunaan lengan atau tungkai atau keterbatasan kekuatan
otot.
Intervensi keperawatan : mengobservasi
kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, mengajarkan teknik latihan
isometrik, membantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL, mengobservasi nilai
kekuatan otot dan tonus otot.
Implementasi keperawatan :
mengobservasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, mengajarkan
teknik latihan isometrik, membantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL,
mengobservasi nilai kekuatan otot dan tonus otot.
Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : S : Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya sudah dapat dilakukan sendiri seperti makan dan minum, O
: – Keadaan Umum baikKesadaran composmentis, Klien dapat melakukan
kegiatan makan, minum secara mandiri, Kegiatan mandi dan BAB masih
membutuhkan bantuan dari keluarga, Kekuatan otot, Tanda-tanda Vital : TD
: 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 3 teratasi, P : Hentikan intervensi Dx 3
Faktor pendukung
: klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan latihan isometrik
dan keluarga turut berperan aktif dalam membantu kebutuhan ADL klien.
Faktor penghambat : kaki klien nyeri apabila ditumpukan.
Solusi : tetap motivasi klien untuk melakukan mobilitas sesuai batas kemampuan klien dan malakukan latihan rentang gerak isometrik.
Diagnosa keempat : Resiko terjadinya infeksi b.d pembedahan pot op amputasi dan pemasangan alat invasive kateter dan infus
Definisi : suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik. (Wilkinson, 2007 )
Rasional :
pada saat pertahanan tubuh menjadi lemah membuat tubuh terserang oleh
pathogen. Diagnosa ini diangkat sebagai diagnosa keempat karena data
yang diperoleh masih dalam batas normal, namun klien tetap berisiko
terhadap infeksi, meskipun diagnosa ini tidak terdapat dalam teori
tetapi karena adanya area tempat masuk mikroorganisme, yaitu melalui
tempat amputasi, pemasangan kateter, dan penusukan infus yang apabila
tidak dilakukan asuhan keperawatan dapat menyebabkan terjadinya masalah
infeksi pada klien.
Intervensi keperawatan : Mengukur
TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap infeksi, melakukan
perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan tinggi
protein, mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka
albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari,
berkolaborasi : memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr.
Implementasi keperawatan : Mengukur
TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap infeksi, melakukan
perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan tinggi
protein, mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka
albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari,
berkolaborasi : memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr.
Evaluasi tanggal 30 desember 2008 :S : - O:
Keadaan Umum baik, Kesadaran composmentis, Klien post op amputasi hari
ke-2, Tidak ada rembesan luka, Elastic verban baik, Albocath sudah di
aff, Kateter sudah di aff, Tanda-tanda infeksi tidak ada, Leukosit
11.900/ul, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N :
88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Masalah Dx 4 tidak menjadi aktual, P : Hentikan intervensi Dx 4
Faktor pendukung : Adanya kerja sama yang baik dari tim perawat dalam pelaksanaan perawatan infus
Faktor penghambat : tidak ada
Solusi : tidak ada
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada Tn. H
sejak tanggal 28-30 oktober 2009 maka penulis mengambil kesimpulan :
- Hasil pengkajian pada An. H mendapatkan hasil data yang sesuai dengan teori. Cara pengumpulan data diperoleh melalui metode wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik. Pada saat wawancara dengan klien dan keluarga kooperatif sehingga terrjalin kerjasama antara perawat dengan klien dan keluarga. Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistemik sesuai dengan kondisi klien.
- Diagnosa keparawatan yang ditemukan pada klien yaitu : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi post op amputasi, Resiko gangguan neurovaskuler perifer berhubungan dengan dampak pemasangan elastic verban, Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi, Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pembedahan pot op amputasi dan pemasangan alat invasive kateter dan infus
- Intervensi kepertawatan pada Tn. H telah disusun sesuai dengan teori atau konsep dasar asuhan keperawatan. Intervensi meliputi juga tindakan yang dilakukan secara mandiri dan kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
- Implementsi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat. Untuk diagnosa nyeri pada bagian amputasi dilakukan tindakan mandiri yaitu mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan berkolaborasi pemberian ketorolac 3 x 30 mg, Untuk diagnosa Resiko gangguan neurovaskuler perifer dilakukan tindakan keperawatan melakukan gerakan isometric, untuk diagnosa Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL dilakukan tindakan membantu kebutuhan klien, mengajarkan gerakan isometric dan menganjurkan keluarga untuk membantu kebutuhan ADL klien, untuk diagnose resiko infeksi dilakukan tindakan melakukan perawatan luka amputasi, perawatan luka penusukan jarum infus dan perawatan kateter serta berkolaborasi pemberian cefazolin 3 x 1 gram..
- Adapun evaluasi akhir dari keseluruhan asuhan keperawatan yang telah diberikan adalah semua masalah keperawatan yang ditemukan pada Tn. H dapat teratasi semua pada tanggal 30 oktober 2009.
B. Saran
Pada
kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan
masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan
keperawatan yang akan datang, diantaranya :
- Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat mengetahui atau mengerti tentang rencana keperawatan pada pasien dengan osteosarkoma, pendokumentasian harus jelas dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan klien dan keluarga.
- Dalam rangka mengatasi masalah gangguan mobilisasi, untuk institusi RS supaya menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan klien yang mengalami gangguan mobilisasi.
- Untuk keluarga diharapkan selalu membantu dan memotivasi klien dalam proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J..(2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylin E. (2000). Rencana Asuhan Kaperawatan : Pedoman Untuk perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Gole, Danielle & Jane Chorette. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Nettina, Sandra M. (2002). Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC
Syamsuhidayat, R dan Wim de Jong. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC.
Rasjad, Choiruddin. (2003). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang Lamimpatue.
Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon