PENJELASAN SIKAP DAN ETIKA BERAGAMA



SIKAP DAN ETIKA BERAGAMA

SIKAP & ETIKA
Menurut kamus besar bahasa Indonesia;
  1. sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan kepada pendirian (keyakinan)
  2. etika berasal dari kata etik yang mempunyai dua pengertian;
  3. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
  4. Nilai mengenai benar dan salah yang dianur suatu golongan atau masyarakat.
  5. etika itu sendiri mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)

SIKAP DAN ETIKA BERAGAMA
Kebebasan Beragama adalah HAM
Perbedaan adalah “REALITAS
Pluralitas atau Pluralisme
Konsep Islam Menyikapi “Perbedaan
Kerukunan Hidup dan Dialog
Antar Umat Beragama
 KEBEBASAN BERAGAMA ADALAH HAM
Hak kebebasan beragama bersifat mutlak yang merupakan wujud dari ‘inner freedom’ (‘freedom to be’) termasuk hak asasi manusia yang paling inti, oleh karena itu bersifat non-derogable [hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi atau dikurangi pemenuhannya oleh siapapun termasuk negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun], dan harus dihormati oleh siapapaun termasuk negara dalam keadaan apapun dan kapanpun (Conde, 1999: 96/ MM. Billah)




PERBEDAAN ADALAH “REALITAS
Adalah suatu hal yang aksioma bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, beraneka ragam suku, bahasa, dan juga agama. Perberbedaan itu hendaknya dibarengi dengan semangat tetap menghargai perbedaan identitas masing-masing dan menghindari penyeragaman
 PLURALITAS
n  Pluralitas adalah sebuah pengakuan adanya keberagaman dalam kehidupan ini, termasuk keberagaman keyakinan dan cara beribadah.
n  Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan

n  Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
 KONSEP ISLAM MENYIKAPI “PERBEDAAN
1)      Islam mengakui eksistensi agama lain, dan memberinya hak hidup berdampingan (QS. Al Kafirun ayat 6)
2)      Larangan memaksakan suatu agama kepada orang lain (QS. Al Baqoroh 256)
3)      Larangan yang mencerca orang yang menyembah selain Allah (QS.  Al An’am 108)
4)      Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan yang dianggapnya benar dengan segala konsekwensinya. (QS. Al Nahl 93)
5)      Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada pemeluk agama lain (QS. Al Mumtahinah; 8)

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Diantaranya;
ü  Pertama, sinkretisme,
bahwa semua agama adalah sama.
ü  Kedua, reconception,
menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain.
ü  Ketiga, sintesis,
menciptakan suatu agama baru yang elemen elemennya diambilkan dari pelbagai agama
ü  Keempat, penggantian,
mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam
agamanya.
ü  Kelima, agree in disagreement
setuju dalam perbedaan

DIALOG & TANTANGAN UMAT BERAGAMA
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini;

SYARAT DIALOG
  • Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi.
  • Kedua adalah menyadari adanya perbedaan.
  • Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain.
  • Keempat adalah adanya persamaan
  • Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar.
KENDALA DIALOG
1)      Kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan.
2)      Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu.
3)      Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih.
4)      Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.
5)      Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain.
6)      Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif.
7)      Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.

















. Sikap Beragama
Dalam mengaplikasikan sikap dalam beragama ada 3 jenis tipologi sikap beragama menurut Komarudin Hidayat yaitu :
1.      Eksklusivisme                       
Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar
Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
2.      Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena penerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.

3.      Pluralisme Atau Paralelisme
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa  secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel).
Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut.
Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman” mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.
Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus  membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
4.      Eklektivisme
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.

5.      Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.

2.2. Etika Beragama
Nilai moral yang merupakan nilai etika tersebut bersifat berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dari pada nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah (universal), etika bersifat teoritis yang memandang perbuatan manusia.
Membangun etika kehidupan beragama ada 5 aspek penting untuk pembangunan agama:
1.      Membangun kerukunan hidup antar umat beragama
2.      Peran serta umat beragama dan kehidupan social ekonomi
3.      Terpenuhinya sarana prasarana keagamaan
4.      Pendidikan agama
5.      Penerangan dakwah agama

Etika membangun kehidupan beragama dimasyarakat :
1.      Dasar-dasar etika dapat dikembangkan dengan mengambil sifat-sifat utama Rasulullah SAW, dalam mengembangkan ajaran islam ditanah Mekah dan Madinah
2.      Untuk landasan etika kehidupan kita
-  Memegang amanah dengan kuat
-  Jujur (Shidik)
-  Tabligh (Menyampikan dengan transparan)
Fathonah (Cerdas dan Intelek)

Memelihara Etika Manusia Berlandaskan Kaidah Agama
Manusia tanpa etika seringkali memiliki kelakuan yang abnormal yang sering kita sebut gangguan mental. fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al-Quran (Surah al-Baqoroh 2:10)

                                   
فِيقُلُوبِهِمْمَرَضٌفَزَادَهُمُاللَّهُمَرَضًاوَلَهُمْعَذَابٌأَلِيمٌبِمَاكَانُوايَكْذِبُونَ
Artinya, “Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam”.
Banyak di antara kita selaku umat beragama, tidak sadar akan keberagamaan kita, keberagamaan secara etika sosial. kebanyakan ummat beragama hanya mendalami tentang korelasi transendental dengan Tuhannya, ataupun segala sesuaatu tentang agama yang sifatnya "Eksklusif", sehingga praktek beragama atau keberagamaan seseorang akan terlihat ketika dia beribadah saja, atau ketika seorang beragama tersebut berdakwah, atau ketika membela agamanya di ranah publik.
Praktek beragama seperti itu bukanlah inti atau esensi dari keberagamaan yang sesungguhnya, karena esensi agama adalah hubungan sosial, kemanusiaan, dan perdamaian, yang perwujudannya adalah saling menghormati dan menerima keberadaan golongan lain bahkan agama lain sekalipun, tanpa adanya rasa curiga atau perlawanan terhadap agama atau keyakinan yang lain. Hal ini diaplikasikan oleh faham pluralisme, yang menerima semua keyakinan beragama.

2.3. Toleransi Beragama
Toleran maknanya adalah bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.
Dalam beragama pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah, Tuhan, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka, takut, hormat, dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Agama adalah tata-cara hidup manusia yang dipercayai bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang tertera di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah :
a)      Menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati;
b)      Menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan
c)      Mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama telah memiliki strategi, metoda dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang mengakibatkan boleh terjadinya perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya tidak boleh sampai terjadi perpecahan yang akhirnya akan merugikan diri mereka sendiri dan agama yang mereka percayai. Untuk menghindari terjadinya perpecahan dan supaya kita dapat berperilaku toleran, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan.
           
1.      Kembali kepada Fitrah Beragama
Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca untuk fitrah beragama, yaitu toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok (akidah) dalam beragama.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi yang belum terbiasa dan belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia yang terkandung dalam Q.S. Al-Imran (103) “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat manusia. Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam beragama, merupakan  dasar perilaku umat manusia dalam beragama.

2.      Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan merupakan keyakinan pokok dalam beragama, hal itu dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga.

3.      Toleran dan Prinsip Hidup
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup beragama yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup keagamaan yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi (Kamu pada prinsipmu dan aku pada prinsipku). Yakni sepakat untuk berbeda. Sikap toleran, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan.

A. Pengertian
Motivasi merupakan dorongan dalam diri seseorang dalam usahanya untuk memenuhi keinginan, maksud dan tujuan.[1]
Agama berarti segenap kepercayaan kepada tuhan atau dewa serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.[2]
Motivasi atau dorongan beragama ialah merupakan dorongan psikis yang mempunyai landasan ilmiah dalam watak kejadian manusia. Dalam relung jiwanya manusia merasakan adanya dorongan untuk mencari dan memikirkan sang penciptanya dan pencipta alam semesta, dorongan untuk menyembahnya, meminta pertolongan kepadanya setiap kali ia ditimpa malapetaka dan bencana.[3]
B. Macam-macam Motivasi
Secara fitrah motivasi dalam diri manusia dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. MOTIVASI SPIRITUAL, hal ini terdiri dari keinginan manusia untuk terhindar dari sifat-sifat buruk yang mampu merusak keimanan :
I. Motivasi memelihara diri dari kemusyrikan
II. Motivasi memelihara diri dari kekufuran
III. Motivasi memelihara diri dari kemunafikan

2. MOTIVASI FISIOLOGIS (yang bersifat jasmaniah) yang terdiri dari:
I. Motivasi pemeliharaan diri
II. Motivasi kepada kelangsungan jenis (berkeluarga dan berketurunan)
3. MOTIVASI PSIKOLOGIS yang terdiri dari :
I. Motivasi memiliki
II. Motivasi Agresif (dalam kajian sifat, kata-kata maupun fisik)[4]
C. Ayat-ayat Al-Quran tentang motivasi beragama
QS.Al-Ara’af :172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,
QS. Ar-Rum : 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],[1168] fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
QS. Adz-Dzariyaat: 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
D. Fungsi agama bagi manusia
1) Agama sebagai petunjuk bagi manusia
Kebutuhan manusia terhadap hukum yang bernilai absolut hanya dapat dipenuhi bila ia datang dari yang absolut juga, yaitu hukum yang datang dari tuhan yang maha esa. Yang kemudian disebut agama. Jadi tampak jelas bahwa agama merupakan kebutuhan yang primer bagi manusia itu sendiri dan demi terselenggaranya ketertertiban dan peradapan manusia sebagai suatu kelompok ummat. Maka agama dapat dilihat sebagai hidayah yang diterima manusia dari tuhan, sebab dengan jalan hidayah itulah manusia dapat menemukan nilai-nilai yang dibutuhkan secara fitrawi sebagai sarana dan petunjuk dalam mewujudkan ketertiban dan mengembangkan peradapan dibumi ini.


2) Agama sebagai motivasi perbuatan moral
Iman adalah landasan dan motivasi bagi manusia, ia tidak sekedar mempercayai hukum-hukum tuhan semata, tetapi juga mengamalkan dalam kehidupan yang nyata, kedudukan iman sebagai motivasi perbuatan moral yakni perbuatan yang sesuai dengan tuntunan hukum tuhan adalah dengan melihat kedudukan iman yang berada dilubuk hati manusia.[5]
3) Agama dan kesehatan mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).[6]
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan
D. Tingkatan motivasi
1. Motivasi Hewani, ialah motivasi memebuhi kebutuhan hidup tanpa memperhatikan keadan dari suatu yang diperolehnyadan cara memanfaatkannya, seperti ketika ingin menghilangkan rasa lapar dan haus Ia tidak peduli apakah yang dimakan halal atau haram.
2. Motivasi Insani, ialah motivasi yang terdapat didalam diri manusia yang memiliki akal yang sehat, hati yang bersih, dan indrawi yang tajam, dalam merespon motivasi atau rangsangan selalu menggunakan hati, indrawi dan akal sehat.
3. Motivasi Rabbani, ialah dorongan jiwa yang terdapat dalam diri manusia yang telah mencapai tingkat kesempurnaan diri melalui ketaatannya yang sangat sempurna dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, motivasi ini adalah dorongan jiwa yang dianugrahkan oleh Allah kepada para nabi, rasul, auliya, sebagai ahli waris dari para nabi-nabi terdahulu.[7]

 3.1. KESIMPULAN
                                                                                                   
1.  Sikap dalam beragama begitu penting untuk menentukan akan bagaimana perilaku kita dalam  masyarakat, khususnya dalam bidang beragama. Akan bersikap eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme/paralelisme, eklektivisme, atau universalisme. Semua itu tergantung kepada pribadi kita masing-masing.
2.  Etika dalam beragama perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena dengan menerapkan hal tersebut maka nilai dan kualitas kita dalam beragama akan menjadi lebih baik.
3.  Toleransi dalam beragama merupakan landasan utama untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama supaya tidak terjadi perpecahan antar pemeluk agama (seperti apa yang sudah di jelaskan dalam Al-Qur’an yaitu Q.S. Al-Imran: 103)


 

 

 

 

Motivasi Manusia dalam Menganut Agama

Setiap perkara yang dilakukan oleh manusia, tidaklah terlepas dari  dua hal: apakah perkara yang dilakukan tersebut berdasarkan kebenaran atau berdasarkan maslahat ? Dengan kata lain, motivasi (dorongan) kerja manusia ada dua bentuk: mencari sebuah kebenaran dan berfikir secara maslahat

1. Mencari Kebenaran            
Pencari kebenaran terbentuk dari tiga perkara: 1. Kecenderungan 2. Pandangan 3. Metode. Hakekat pencari kebenaran akan ditemukan sesuai dengan tiga bentukan ini: 1. Aliran kebenaran.   2. Kebenaran yang yakin. 3. Kebenaran sebagai tolak ukur. Manusia dalam mencari kebenaran melalui tiga bentuk yang berada dalam dirinya, yakni hati sebagai pusatnya niat atau maksud dan mencintai dan membenci manusia. Otak yang mana sebagai pusat pandangan-pandangan manusia.

Fenomena sebagai tempat metode-metode amal perbuatan dan tingkah laku manusia untuk menetapkan sebuah hakekat. Cinta dan benci pada manusia hanya berdasarkan kebenaran dan hakekat (aliran kebenaran), selain dari keyakinan-keyakinan yang benar maka iman tidak bisa didatangkan dan juga menerima setiap keyakinan yang benar (kebenaran yang yakin) dan selalu berdiri dengan kebenaran dan sebab-sebabnya. Dan dalam sisi pengamalan, mereka tidak akan berpaling. Dan prilaku mereka hanya berdasarkan atas hakekat (kebenaran sebagai tolak ukur).

 2. Berfikir maslahat         
Seseorang yang melakukan perbuatannya berdasarkan prinsip  maslahat, harus memulai dengan pengenalan terhadap maslahat pribadinya. Kemudian akan mengetahui maslahat apa yang paling baik  bagi dirinya. Dan bagaimana akan mendapatkan maslahat itu, melalui jalan apa yang bisa menjauhkan diri dari perkara yang membahayakan serta akan mendekatkan pada perkara yang menguntungkan.

Pada dasarnya, sesuatu apa yang menguntungkan dan permasalahan apa yang merugikan. Seseorang yang berpegang pada agama akan mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Penyayang mengetahui maslahat sesuatu dan menginginkannya. Oleh karenanya, paling tingginya  tingkat maslahat pada-Nya akan menjamin suatu  kebaikan dalam ruang lingkup agama.

Apabila  bagian dari maslahat ke depan dan yang terlewati tidak diketahui maka lebih diutamakan maslahat di dalam ketetapan agama dan maslahat terhadap amal perbuatan atasnya. Dikarenakan berpegang pada agama sebagai jalan keselamatan dan mengantarkan pada kebahagian dunia dan akhirat. Alhasil, orang beragama akan menanti sebuah pengorbanan untuk mengantarkannya pada keselamatan. Dan ini adalah perbuatan  orang-orang yang berakal dan berperikemanusiaan. Dikarenakan, akan menjamin maslahat manusia pada jalan ini.

Benar, akan hilang sebagian maslahat dunia, akan tetapi akan mendatangkan kebaikan yang abadi. Apakah jual beli dan perdagangan yang lebih besar dan menguntungkan dari hal ini? Allah Swt dalam al-qur’an berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. Yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Shaf ayat 10 dan11)

Setiap dua individu manusia melalui jalan ini mampu mengantarkan jalan menuju maslahat akhirat dan mendapatkan keselamatan atas dirinya serta dengan dalil ini juga akan mendapatkan ketenangan dunia.  Agama seperti tali yang telah disambungkan dari puncak gunung, sehingga para pendaki dengan perantara tali tersebut mampu untuk naik ke atas gunung,  sebagai pengaman dari jatuh atau kecelakaan serta sebagai alat bantu naik.

Begitu juga agama sebagai tali Allah yang kuat, dengan berpegang dengannya mampu mengantarkan kepada puncak keselamatan dan mendapatkan  kebaikan-kebaikan  yang pasti dan abadi serta telah bergerak pada puncak keamanan dan ke- tenangan jiwa. Yakni, juga seiring dengan ketenangan duniawi serta kebahagiaan akhirat: “ Barang- siapa yang berpegang pada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus….”  “Dan berpeganglah kalian  pada tali(agama) Allah dan janganlah bercerai berai…” (surat Al-Imran ayat 101 dan 103).            

   Motivasi Menurut Perspektif Psikologi Islam
Sebenarnya kata Motivasi banyak disebutkan di dalam bahasa Al-Qur’an, yang salah satunya adalah fitrah yang artinya adalah potensi atau pembawaan manusia yang dibawa sejak ia lahir. Manusia selain sebagai makhluk rasionaistikl juga sebagai makhluk metafisik, yaitu makhluk yang digerakkan oleh sesuatu di luar nalar yang biasanya disebut naluri atau insting. Setiap perbutan yang dilakukan manusia baik yang disadari atau (rasional) maupun yang tidak disadari (mekanikal atau naluri) pada dasarnya merupakan sebuah wujud untuk menjaga sebua keseimbangan hidup. Jika kesimbangan tubuh ini terganggu, maka akan timbul suatu dorongan untuk melakukan aktivitas guna mengembalikan keseimbangan tubuh.
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, sangat memperhatikan konsep kesimbangan, yang dijelaskan pada QS. al-Hijr 19 yang berbunyi:
وَاْلأَرْضض مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ شَىْءٍ مَّوْزُونٍ {19}
Artinya:
“Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjdikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukurannya”. (QS. Al-Hijr:19)
          الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ {7}
Artinya:
Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang” (QS. Al-Infithar:7)[1][1]
Jadi, dapat diketahui bahwa, motivasi (motivation) adalah keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis yang mengarahkan perilaku. Motivasi sudah diartikan suatu variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-fakor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyeluruh tingkah laku menuju satu sasaran. Motivasi juga dapat diartikan sebagai semangat. Pengertian inilah yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.
Berikut ini pengertian motivasi :
1.      Menurut Abraham Maslow dan Douglas McGregor, motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu.
2.      Menurut Mitchell, motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, ketekunan seorang individu untuk mencapai suatu tujuan.
3.      Motivasi adalah proses pengembangan dan pengarahan perilaku individu atau kelompok, agar individu atau kelompok itu menghasilkan keluaran yang diharapkan, sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai. (Ensiklopedi Manajemen, Ekonomi dan Bisnis, 1993).[2][2]
4.      Menurut Wirawan Sarwono, motivasi adalah istilah yang lebih umum, yang menunjuk pada seluruh proses gerakan, termasuk di dalamnya situasi yang mendorong timbulnya tindakan atau tingkah laku individu.
Seberapapun perbedaan para ahli dalam mendefinisikan motivasi, namun dapat dipahami bahwa motivasi merupakan akumulasi daya dan kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk mendorong, merangsang, menggerakkan, membangkitkan dan memberi harapan pada tigkah laku. Motivasi menjadi pengarah dan pembimbing tujuan hidup seseorang, sehingga ia mampu mengatasi inferioritas yang benar-benar dirasakan dan mencapai superioritas yang lebih baik. Makin tinggi motivasi hidup seseorang, maka makin tinggi pula intensitas tingkah lakunya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam psikologi Islam, pembahasan motivasi hidup tidak terlepas dari tahapan kehidupan manusia. Secara garis besar, kehidupan manusia terbagi atas tiga tahap penting :
1)      Tahapan pra kehidupan dunia, yang disebut dengan alam perjanjian atau alam alastu. Pada aam ini terdapat rencana atau design Tuhan yang memotivasi kehidupan manusia di dunia. Isi motivasi yang dimaksud adalah amanah yang berkenaan dengan tugas dan peran kehidupan manusia di dunia.
2)      Tahapan kehidupan dunia, untuk aktualisasi atau realisasi diri terhadap amanah yang telah diberikan pada alam pra kehidupan dunia. Pada alam ini realisasi atau aktualisasi diri manusia termotivasi oleh pemenuhan amanah. Kualitas hidup seseorang sangat tergantung pada kualitas pemenuhan amanah.
3)      Tahapan alam pasca kehidupan dunia, yang disebut dengan hari penghabisan atau yaumul akhirah. Pada kehidupan ini manusia diminta oleh Allah untuk mempertanggungjawabkan semua aktivitasnya, apakah aktivitasnya sesuai dengan amanah atau tidak. 
Menurut pandangan Islam telah dinyatakan secara jelas bahwa motivasi hidup manusia hanyalah realisasi atau aktualisasi amanah Allah SWT semata. Menurut Fazlur Rahman, amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Firman Allah:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً {72}
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikillah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.(QS. Al-Ahzab:72)[3][3]
Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa motivasi aktivitas hidup seseorang. Namun motivasi yang dapat dibenarkan adalah :
1.      Tidak ada motivasi atau tendensi apapun dalam ibadah, hidup dan mati ini kecuali semata-mata karena Allah. Firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS Al-An’am :162)
2.      Semata-mata ikhlas karena Allah SWT, sebab hal itu merupakan bentuk beragama yang benar. Firman Allah SWT:
وَمَآ أُمِرُوْ~ا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا االزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُالْقَيِّمَةِ {5}
Artinya: padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS Al-Bayyinah: 5)
3.      Untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terhindar dari siksaan api neraka. Firman Allah:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Artinya: “Dan diantara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".[4][4]


2.    Beragama Menurut Perspektif Psikologi Islam
Beragama juga berasal dari bahasa Inggris yaitu religiosity dari akar kata religy yang berarti agama. Religiosity merupakan bentuk kata dari kata religious yang berarti beragama, beriman. Beragama adalah adanya kesadaran diri individu dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut. Manusia diciptakan dengan membawa fitrah yang penciptaannya lebih sempurna dibanding dengan makhluk yang lain. Penciptaannya ini dilengkapi dengan akal dan nafs, dengan memiliki akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.[5][5] SebagaimanaRasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

Artinya: “Telah menceritakan kepada Adam  telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza’bin dari Az-zuhriyyi dari Abu Salamah bin Abdur rahman dari Abu Hurairah berkata: Nabi SAW bersabda: setiap anak dilahiran dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?”
Dalam referensi yang berbeda, bahwa manusia memiliki fitrah atau potensi yang terdiri dari Nafs, Qalb, Ruh,dan Aql. Berkenaan dengan agama yang dipeluk setiap manusia, maka hal ini dikaitkan pula dengan Ruh. Ruh merupakan dimensi jiwa manusia yan bernuansa ilahiyyah. Implikasinya dalam kehidupan manusia adalah aktualisasi potensi luhur batin manusia berupa keinginan mewujudkan nilai-nilai ilahiyyah yang tergambar dalam Asmaul Husna (nama-nama Allah) dan berperilaku agama (makhluk agamis). Ini sebagai konsekuensi logis dimensi Ruh yang berasal dari tuhan, maka ia memiliki sifat-sifat yang dibawa dari asal tersebut. Jadi, kebutuhan manusia untuk memeluk agama adalah suatu hal yang logis. Dalam agama, keyakinan terhadap Allah dapat dipenuhi dan dipuaskan. Dari sinilah dapat diketahui, bahwa manusia memang butuh Agama. Yang mana konsekuensi ini menolak pandangan psikologi tentang paham Behafiorism dan Psikoanalismyang menganggap bahwa beragama adalah sebagai orang yang mengidap penyakit jiwa. Karena jiwa manusia hampa dimensi Ruh yang merupakan dimensi Ilahiyyah manusia yang bermuara pada kebutuhan terhadap Tuhan dan Agama. Jadi, wajar saja jika tidak mengakui agama sebagai kebutuhan jiwa manusia, namun malah sebaliknya menganggap sebagai penyakit jiwa.
Menurut perspektif Psikologi Islam, ruh merupakan dimensi spiritual yang menyebabkan iwa manusia dapat dan memerlukan hubungan dengan hal-hal yang bersifat spiritual. Jiwa manusia memerlukan hubungan dengan Tuhan. Maka dari itu, jiwa juga memiliki daya-daya atau kekuatan-kekuatan yang spiritual yang tidak dimiliki makhluk lain.
Dari dimensi inilah menyebabkan manusia memiliki sifat ilahiyyah (sifat ketuhanan) yang mendorong manusia untuk merealisasikan sifat-sifat Tuhannya dalam kehidupannya di dunia.[6][6]

3.    Motivasi Beragama Bagi Seorang Muslim 
Agama berperan sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. sedangkan agama sebagi nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran yang dianutnya. Sebaliknya agama juga sebagi pemberi harapan bagi pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghaib.
Motivasi mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai etik mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji menjaga amanat dan sebagainya. Sedangkan harapan mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menrima cobaan yang berat ataupun berdo’a. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.
Dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa statement baik secara eksplisit maupun implisit menunjukkan beberapa bentukan dorongan yang memengaruhi manusia. Dorongan-dorongan yang dimaksud dapat berbentuk instingtif dan dorongan naluriah, maupun dorongan terhadap hal-hal yang memberikan kenikmatan.  Hal ini dijelaskan dalam QS. Ali-Imron ayat 14 dan QS. Al-Qiyammah ayat 20. Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecintaan yang kuat terhadap dunia dan syahwat (sesuatu yang bersifat kenikmatan pada badan) yang terwujud dalam kesukaan terhadap perempuan, anak, dan harta kekayaan. Dalam surat Al-Qiyammah ayat 20 dijelaskan larangan untuk menafikan kehidupan dunia, karena sebenarnya mnausia diberikan keinginan dalam dirinya untuk mencintai dunia itu, hanya saja kesenangan hidup itu tidak diperbolehkan semata-mata hanya untuk kesenagngan saja, yang sebenarnya lebih bersifat biologis dari pada bersifat psikis. Padahal motivasi manusia harus terarah pada suatu qiblah, yaitu arah masa depan yang disebut Al-akhirah, sebuah kondisi yang situasi yang sebenarnya lebih bersiaft psikis.
Dalam surat Ar-Rum ayat 30 juga dijelaskan mengenai fitrah manusia atau sebuah potensi dasar. Potensi dasar yang memiliki makna sifat bawaan, yang mengambil arti bahwa sejak diciptakan manusia memiliki sifat pembawaan yang menjadi pendorong untuk melakukan berbagai bentuk perbuatan, tanpa disertai dengan peran akal, sehingga terkadang manusia tanpa disadari bersikap dan bertingkah laku untuk menuju pada pemenuhan fitrahnya. Seperti pada kasus yang terjadi pada “ Agama” animism dan dinamisme, para pengikutnya bersifat dan bertingkah laku aneh dan irrasional (menyediakan sesajen) ketika memenuhi kebutuhan fitrahnya untuk beragama.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan potensi dasar atau fitrah beragama. Semua manusia pasti membutuhkan agama, sekalipun orang atheis secara actual tidak meyakini adanya Tuhan. Tetapi sebenarnya, secara filosofi, mereka tetap mencari pegangan hidup yang diwujudkan dalam aturan-aturan kesepakatan bersama atau semacam undang-undang yang dibuat mereka. Aturan yang dibuat mereka terkadang lebih fanatic daripada aturan dari seorang penganut agama yang mengakui aturan yang dibuat Tuhan. Dalam menjalankan aturan itu seakan-akan atheis mengakui aturan itu sendiri sebagai Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat memisahkan diri denagn Tuhan sekalipun manusia tidak menyadari hubungan itu. Inilah yang dimaksud motivasi beragama. [7][7]
Pendapat lain menyatakan bahwa salah satu ciri utama fitrah adalah manusia menerima Allah sebagai Tuhan. Dari asalnya manusia itu mempunyai kecenderungan beragama, sebab beragama itu sebagian dari fitrahnya. Sebab-sebab yang menjadikan seseorang itu tidak percaya terhadap Tuhan bukanlah sifat dari asalnya, tetapi ada kaitannya dengan alam sekitar. Manusia butuh agama itu karena untuk memberdayakan diri ketika sedang dalam menghadapi kesulitan atau masalah sebagai wujud untuk menghindari bahaya yang akan menimpanya. [8][8]
4.    Analisa
Sejak awal manusia diciptakan oleh Allah, sebenarnya manusia memilki fitrah atau potensi untuk beragama. Beragama dalam hal ini adalah beragama Islam. Menurut orang orientalis, kedatangan Isla adalah sebagai solusi, karena menurut mereka rujukan yang utama adalah adalah psikologi umum yang dikembangkan oleh kaumnya sendiri. Kemudian baru merujuk pada psikologi dalam perspektif Islam.
Manusia selain disebut sebagai makhluk rasionalistik juga disebut sebagai makhluk mekanistik, yang mana keduanya harus dalam keadaan seimbang. Jika keduanya tidak seimbang maka manusia butuh adanya suatu dorongan atau motivasi, baik motivasi yang berasal dari diri sendiri juga yang berasal dari orang lain. Dalam kajian makalah ini dibahas tentang motivasi beragama bagi seorang muslim. Motivasi adalah dorongan yang muncul dari diri seseorang untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai. Manusia memiliki dorongan untuk memeluk agama yang diyakininya, hal ini berkenaan dengan fitrah atau potensi dasar yang disebut dengan Ruh sehingga hal ini disebut sebagai dimensi Ruh. Dimensi Ruh menyebabakan manusia memiliki sifat ilahiyyah atau sifat ketuhanan dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat tuhan itu dalam kehidupan sehari-hari.  
Dari sinilah, sebenarnya butuh dengan agama sebagai pengatur kehidupan yang mereka jalani. Manusia butuh  agama, karena agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Manusia sejak awal lahirnya telah membawa fitrah (potensi) yang berbeda. Salah satu potensi yang dibawa manusia itu adalah potensi agam. Segala tingkah laku yang diperbuatnya baik dan buruknya tingkah laku itu tergantung pada mahusia yang menjalaninya, karena pada dasarnya segala sesuatu yang diperbuat manusia akan kembali pada agama.

Peranan Agama pada Realitas Kehidupan Manusia
      Agama mengambil peranan penting dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena suatu agama atau kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat secara kontiniu. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada kondisi masyarakat maka agama  dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang hidup dalam masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat sekuler.Sumbangan atau fungsi agama dalam masyarakat adalah sumbangan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha aktif yang berjalan terus menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu masyarakat akan tetap terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil peranan yang penting dan menempati fungsi-fungsi yang ada dalam suatu masyarakat
 Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
  • Karena agama merupakan sumber moral
  • Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
  • Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
  • Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
  • Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah atau kebaikan.
  • Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak peranan agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.


Fungsi Agama Pada Kehidupan Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:

- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT

-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.



– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan social

Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.

Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain

Beberapa tujuan agama terhadap kehidupan manusia yaitu :
  • Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
  • Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
  • Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
  • Menyempurnakan akhlak manusia.
         Agama juga berperan untuk menciptakan suatu perdamaian bagi masyarakat dan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai penumbuh rasa solidaritas.
          Untuk menciptakan iklim damai tersebut, perlu dibentuk pranata-pranata sosial yang menjadi infrastruktur bagi tegaknya suatu perdamaian dalam masyarakat.
      Dalam hal ini peranan pemimpin keagamaan, seperti ulama, pendeta, kyai dan para jemaah agama, adalah sangat penting bagi terwujudnya suasana  damai dan kondusif dalam kehidupan beragama manusia sehyari hari.


















Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon