SIKAP DAN
ETIKA BERAGAMA
SIKAP
& ETIKA
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia;
- sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan kepada pendirian (keyakinan)
- etika berasal dari kata etik yang mempunyai dua pengertian;
- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
- Nilai mengenai benar dan salah yang dianur suatu golongan atau masyarakat.
- etika itu sendiri mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
SIKAP DAN
ETIKA BERAGAMA
Kebebasan Beragama adalah HAM
Perbedaan adalah “REALITAS
Pluralitas atau Pluralisme
Konsep Islam Menyikapi “Perbedaan
Kerukunan Hidup dan Dialog
Antar Umat Beragama
KEBEBASAN BERAGAMA ADALAH
HAM
Hak kebebasan beragama bersifat
mutlak yang merupakan wujud dari ‘inner freedom’ (‘freedom to be’) termasuk hak
asasi manusia yang paling inti, oleh karena itu bersifat non-derogable [hak-hak
yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi atau dikurangi pemenuhannya oleh
siapapun termasuk negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun], dan harus
dihormati oleh siapapaun termasuk negara dalam keadaan apapun dan kapanpun
(Conde, 1999: 96/ MM. Billah)
PERBEDAAN
ADALAH “REALITAS
Adalah suatu hal yang aksioma bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, beraneka ragam suku, bahasa, dan
juga agama. Perberbedaan itu hendaknya dibarengi dengan semangat tetap
menghargai perbedaan identitas masing-masing dan menghindari penyeragaman
PLURALITAS
n Pluralitas adalah sebuah
pengakuan adanya keberagaman dalam kehidupan ini, termasuk keberagaman
keyakinan dan cara beribadah.
n Pluralitas agama adalah
sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk
agama yang hidup secara berdampingan
n Pluralisme agama adalah
suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang
lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan
masuk dan hidup berdampingan di surga.
KONSEP ISLAM MENYIKAPI
“PERBEDAAN
1)
Islam mengakui eksistensi agama lain, dan memberinya hak hidup berdampingan
(QS. Al Kafirun ayat 6)
2)
Larangan memaksakan suatu agama kepada orang lain (QS. Al Baqoroh 256)
3)
Larangan yang mencerca orang yang menyembah selain Allah (QS. Al An’am
108)
4)
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan yang dianggapnya
benar dengan segala konsekwensinya. (QS. Al Nahl 93)
5)
Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada pemeluk
agama lain (QS. Al Mumtahinah; 8)
DIALOG
ANTAR UMAT BERAGAMA
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada
beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan
beragama. Diantaranya;
ü Pertama, sinkretisme,
bahwa semua agama adalah sama.
ü Kedua, reconception,
menyelami dan meninjau kembali agama
sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain.
ü Ketiga,
sintesis,
menciptakan suatu agama baru yang
elemen elemennya diambilkan dari pelbagai agama
ü Keempat, penggantian,
mengakui bahwa agamanya sendiri
itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya
orang-orang yang lain agama masuk dalam
agamanya.
ü Kelima, agree
in disagreement
setuju dalam perbedaan
DIALOG
& TANTANGAN UMAT BERAGAMA
Dialog adalah upaya untuk
menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Selanjutnya, suatu dialog akan
dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal
berikut ini;
SYARAT
DIALOG
- Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi.
- Kedua adalah menyadari adanya perbedaan.
- Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain.
- Keempat adalah adanya persamaan
- Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar.
KENDALA
DIALOG
1)
Kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar
dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang
berlainan.
2)
Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah,
misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu
daerah tertentu.
3)
Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan
memakai ukuran kebenaran hitam-putih.
4)
Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.
5)
Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain.
6)
Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif.
7)
Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.
. Sikap Beragama
Dalam mengaplikasikan sikap
dalam beragama ada 3 jenis tipologi sikap beragama menurut Komarudin
Hidayat yaitu :
1. Eksklusivisme
Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan
ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain
sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan
penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini
merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga
dewasa ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai
ikatan langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan
dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar
Sikap menerima yang toleran akan adanya
tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara,
suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup
sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
2. Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar
agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau
sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis
dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa
agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan
kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok
tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme
dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal
hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras
mempertahankan isinya yang spesifik, karena penerapan isi selalu mengandaikan
perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran
akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai.
Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup
sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
3. Pluralisme Atau Paralelisme
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih
moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia
berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai
suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel).
Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis
merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya,
perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima
sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan
“pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon dan
Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan
iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang
satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid)
dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut.
Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan
“pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia
pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan
ekaristi), dan “perumusan iman” mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan
dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman
iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan
yang sama.
Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada
sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis
kerja awal. Sikap ini sekaligus membawa amanat akan pengharapan dan
kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran
karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.
4. Eklektivisme
Eklektivisme adalah
suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi
ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir
dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.
5. Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya
semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor
historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.
2.2. Etika Beragama
Nilai moral yang merupakan nilai etika tersebut bersifat berubah-ubah sesuai dengan
persetujuan dari pada nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah
(universal), etika bersifat teoritis yang memandang
perbuatan manusia.
Membangun etika kehidupan beragama ada 5 aspek
penting untuk pembangunan agama:
1.
Membangun kerukunan hidup antar umat beragama
2.
Peran serta umat beragama dan kehidupan social ekonomi
3.
Terpenuhinya sarana prasarana keagamaan
4.
Pendidikan agama
5.
Penerangan dakwah agama
Etika membangun kehidupan beragama
dimasyarakat :
1.
Dasar-dasar etika dapat dikembangkan dengan mengambil sifat-sifat utama
Rasulullah SAW, dalam mengembangkan ajaran islam ditanah Mekah dan Madinah
2.
Untuk landasan etika kehidupan kita
- Memegang amanah dengan kuat
- Jujur (Shidik)
- Tabligh (Menyampikan dengan
transparan)
- Fathonah (Cerdas dan Intelek)
Memelihara Etika Manusia Berlandaskan Kaidah Agama
Manusia tanpa etika
seringkali memiliki kelakuan yang abnormal yang sering kita sebut gangguan
mental. fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak
wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al-Quran (Surah al-Baqoroh 2:10)
فِيقُلُوبِهِمْمَرَضٌفَزَادَهُمُاللَّهُمَرَضًاوَلَهُمْعَذَابٌأَلِيمٌبِمَاكَانُوايَكْذِبُونَ
Artinya, “Dalam hati mereka
ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih,
disebabkan mereka berdusta. Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran nabi
Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian,
iri-hati dan dendam terhadap nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam”.
Banyak di antara kita
selaku umat beragama, tidak sadar akan keberagamaan kita, keberagamaan secara
etika sosial. kebanyakan ummat beragama hanya mendalami tentang korelasi
transendental dengan Tuhannya, ataupun segala sesuaatu tentang agama yang
sifatnya "Eksklusif", sehingga praktek beragama atau keberagamaan
seseorang akan terlihat ketika dia beribadah saja, atau ketika seorang beragama
tersebut berdakwah, atau ketika membela agamanya di ranah publik.
Praktek beragama seperti
itu bukanlah inti atau esensi dari keberagamaan yang sesungguhnya, karena
esensi agama adalah hubungan sosial, kemanusiaan, dan perdamaian, yang
perwujudannya adalah saling menghormati dan menerima keberadaan golongan lain
bahkan agama lain sekalipun, tanpa adanya rasa curiga atau perlawanan terhadap
agama atau keyakinan yang lain. Hal ini diaplikasikan oleh faham pluralisme,
yang menerima semua keyakinan beragama.
2.3. Toleransi Beragama
Toleran maknanya adalah
bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan
dengan pendirian sendiri. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut
mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.
Dalam beragama pengakuan
adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah, Tuhan, God, Yahweh, Elohim, yang
disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap
manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan
agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang
Maha Tinggi, yang disebut iman atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya
rasa suka, takut, hormat, dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Agama adalah
tata-cara hidup manusia yang dipercayai bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir
di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan
manusia, yang tertera di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang
bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya)
yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama, memiliki fungsi dalam
kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah :
a)
Menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati;
b)
Menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan
c)
Mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi
agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama telah memiliki strategi,
metoda dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang mengakibatkan boleh
terjadinya perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Karenanya, umat manusia
dalam menjalankan agamanya tidak boleh sampai terjadi perpecahan yang akhirnya
akan merugikan diri mereka sendiri dan agama yang mereka percayai. Untuk
menghindari terjadinya perpecahan dan supaya kita dapat berperilaku toleran,
ada beberapa upaya yang dapat dilakukan.
1. Kembali kepada
Fitrah Beragama
Dalam kesempatan ini, kami
mengajak pembaca untuk fitrah beragama, yaitu toleransi yang harus ditegakkan
sebagai keyakinan pokok (akidah) dalam beragama.
Toleransi/toleran dalam pengertian
seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi yang belum
terbiasa dan belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan
kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan
bersama dalam segala bidang. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat
mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Allah
telah mengingatkan kepada umat manusia yang terkandung dalam Q.S. Al-Imran
(103) “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai.”
Pesan ini merupakan pesan
kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan
agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama.
Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan
agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan
agama-agama untuk umat manusia. Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah
dalam beragama, merupakan dasar perilaku
umat manusia dalam beragama.
2.
Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian
yang telah disampaikan merupakan keyakinan pokok dalam beragama, hal itu dapat
kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena
toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang
berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki
nilai itu.
Demikian juga toleransi,
dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu
kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu
bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak
perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita
jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai
pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan
lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat
dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Sifat dan sikap
toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan
dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan
yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga.
3.
Toleran dan Prinsip Hidup
Berinteraksi dengan jiwa
toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup
beragama yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan
prinsip hidup keagamaan yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas
tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata
berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita,
sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap
sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi
tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109:
“Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi
kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada
apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi
pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu
untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah dibela
oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan
prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda juga dijelaskan dengan
tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi (Kamu pada
prinsipmu dan aku pada prinsipku). Yakni sepakat untuk berbeda. Sikap toleran,
mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat
martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan.
A.
Pengertian
Motivasi merupakan dorongan dalam
diri seseorang dalam usahanya untuk memenuhi keinginan, maksud dan tujuan.[1]
Agama berarti segenap kepercayaan
kepada tuhan atau dewa serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban
yang bertalian dengan kepercayaan itu.[2]
Motivasi atau dorongan beragama
ialah merupakan dorongan psikis yang mempunyai landasan ilmiah dalam watak
kejadian manusia. Dalam relung jiwanya manusia merasakan adanya dorongan untuk
mencari dan memikirkan sang penciptanya dan pencipta alam semesta, dorongan
untuk menyembahnya, meminta pertolongan kepadanya setiap kali ia ditimpa
malapetaka dan bencana.[3]
B.
Macam-macam Motivasi
Secara fitrah motivasi dalam diri
manusia dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. MOTIVASI SPIRITUAL, hal ini terdiri dari keinginan
manusia untuk terhindar dari sifat-sifat buruk yang mampu merusak keimanan :
I. Motivasi memelihara diri dari
kemusyrikan
II. Motivasi memelihara diri dari
kekufuran
III. Motivasi memelihara diri dari
kemunafikan
2. MOTIVASI FISIOLOGIS (yang bersifat jasmaniah) yang
terdiri dari:
I. Motivasi pemeliharaan diri
II. Motivasi kepada kelangsungan
jenis (berkeluarga dan berketurunan)
3. MOTIVASI PSIKOLOGIS yang terdiri dari :
I. Motivasi memiliki
II. Motivasi Agresif (dalam kajian
sifat, kata-kata maupun fisik)[4]
C.
Ayat-ayat Al-Quran tentang motivasi beragama
QS.Al-Ara’af :172 :
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
172. Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,
QS.
Ar-Rum : 30
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],[1168]
fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai
naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara
pengaruh lingkungan.
QS. Adz-Dzariyaat: 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
56. Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
D. Fungsi agama bagi manusia
1) Agama sebagai
petunjuk bagi manusia
Kebutuhan manusia terhadap
hukum yang bernilai absolut hanya dapat dipenuhi bila ia datang dari yang
absolut juga, yaitu hukum yang datang dari tuhan yang maha esa. Yang kemudian
disebut agama. Jadi tampak jelas bahwa agama merupakan kebutuhan yang primer
bagi manusia itu sendiri dan demi terselenggaranya ketertertiban dan peradapan
manusia sebagai suatu kelompok ummat. Maka agama dapat dilihat sebagai hidayah
yang diterima manusia dari tuhan, sebab dengan jalan hidayah itulah manusia
dapat menemukan nilai-nilai yang dibutuhkan secara fitrawi sebagai sarana dan
petunjuk dalam mewujudkan ketertiban dan mengembangkan peradapan dibumi ini.
2) Agama sebagai
motivasi perbuatan moral
Iman adalah landasan dan
motivasi bagi manusia, ia tidak sekedar mempercayai hukum-hukum tuhan semata,
tetapi juga mengamalkan dalam kehidupan yang nyata, kedudukan iman sebagai
motivasi perbuatan moral yakni perbuatan yang sesuai dengan tuntunan hukum
tuhan adalah dengan melihat kedudukan iman yang berada dilubuk hati manusia.[5]
3) Agama dan kesehatan
mental
Agama tampaknya memang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin
karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun
lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali
dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena
manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk
kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern
manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun
hati nurani (conscience of man).[6]
Fitrah manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu
agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka
tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan
D. Tingkatan
motivasi
1. Motivasi Hewani, ialah motivasi
memebuhi kebutuhan hidup tanpa memperhatikan keadan dari suatu yang
diperolehnyadan cara memanfaatkannya, seperti ketika ingin menghilangkan rasa
lapar dan haus Ia tidak peduli apakah yang dimakan halal atau haram.
2. Motivasi Insani, ialah motivasi yang
terdapat didalam diri manusia yang memiliki akal yang sehat, hati yang bersih,
dan indrawi yang tajam, dalam merespon motivasi atau rangsangan selalu
menggunakan hati, indrawi dan akal sehat.
3. Motivasi Rabbani, ialah dorongan
jiwa yang terdapat dalam diri manusia yang telah mencapai tingkat kesempurnaan
diri melalui ketaatannya yang sangat sempurna dalam menjalankan perintah dan
menjauhi larangan Allah SWT, motivasi ini adalah dorongan jiwa yang
dianugrahkan oleh Allah kepada para nabi, rasul, auliya, sebagai ahli waris
dari para nabi-nabi terdahulu.[7]
3.1.
KESIMPULAN
1. Sikap dalam beragama begitu
penting untuk menentukan akan bagaimana perilaku kita
dalam masyarakat, khususnya dalam bidang
beragama. Akan bersikap eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme/paralelisme,
eklektivisme, atau universalisme. Semua itu tergantung kepada pribadi kita
masing-masing.
2. Etika dalam beragama perlu
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena dengan menerapkan hal tersebut
maka nilai dan kualitas kita dalam beragama akan menjadi lebih baik.
3. Toleransi dalam beragama merupakan
landasan utama untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama supaya tidak
terjadi perpecahan antar pemeluk agama (seperti apa yang sudah di jelaskan
dalam Al-Qur’an yaitu Q.S. Al-Imran: 103)
Motivasi Manusia dalam Menganut Agama
Setiap perkara
yang dilakukan oleh manusia, tidaklah terlepas dari dua hal: apakah
perkara yang dilakukan tersebut berdasarkan kebenaran atau berdasarkan maslahat
? Dengan kata lain, motivasi (dorongan) kerja manusia ada dua bentuk: mencari
sebuah kebenaran dan berfikir secara maslahat
1.
Mencari Kebenaran
Pencari kebenaran terbentuk dari tiga perkara: 1. Kecenderungan 2.
Pandangan 3. Metode. Hakekat pencari kebenaran akan ditemukan sesuai dengan
tiga bentukan ini: 1. Aliran kebenaran. 2. Kebenaran yang yakin. 3.
Kebenaran sebagai tolak ukur. Manusia dalam mencari kebenaran melalui tiga
bentuk yang berada dalam dirinya, yakni hati sebagai pusatnya niat atau maksud
dan mencintai dan membenci manusia. Otak yang mana sebagai pusat
pandangan-pandangan manusia.
Fenomena sebagai tempat metode-metode amal perbuatan dan tingkah
laku manusia untuk menetapkan sebuah hakekat. Cinta dan benci pada manusia
hanya berdasarkan kebenaran dan hakekat (aliran kebenaran), selain dari
keyakinan-keyakinan yang benar maka iman tidak bisa didatangkan dan juga
menerima setiap keyakinan yang benar (kebenaran yang yakin) dan selalu berdiri
dengan kebenaran dan sebab-sebabnya. Dan dalam sisi pengamalan, mereka tidak
akan berpaling. Dan prilaku mereka hanya berdasarkan atas hakekat (kebenaran
sebagai tolak ukur).
2.
Berfikir maslahat
Seseorang yang melakukan perbuatannya berdasarkan prinsip
maslahat, harus memulai dengan pengenalan terhadap maslahat pribadinya.
Kemudian akan mengetahui maslahat apa yang paling baik bagi dirinya. Dan
bagaimana akan mendapatkan maslahat itu, melalui jalan apa yang bisa menjauhkan
diri dari perkara yang membahayakan serta akan mendekatkan pada perkara yang
menguntungkan.
Pada dasarnya, sesuatu apa yang menguntungkan dan permasalahan apa
yang merugikan. Seseorang yang berpegang pada agama akan mengetahui bahwa Tuhan
Yang Maha Bijaksana dan Penyayang mengetahui maslahat sesuatu dan
menginginkannya. Oleh karenanya, paling tingginya tingkat maslahat
pada-Nya akan menjamin suatu kebaikan dalam ruang lingkup agama.
Apabila bagian dari maslahat ke depan dan yang terlewati tidak
diketahui maka lebih diutamakan maslahat di dalam ketetapan agama dan maslahat
terhadap amal perbuatan atasnya. Dikarenakan berpegang pada agama sebagai jalan
keselamatan dan mengantarkan pada kebahagian dunia dan akhirat. Alhasil, orang
beragama akan menanti sebuah pengorbanan untuk mengantarkannya pada
keselamatan. Dan ini adalah perbuatan orang-orang yang berakal dan berperikemanusiaan.
Dikarenakan, akan menjamin maslahat manusia pada jalan ini.
Benar, akan hilang sebagian maslahat dunia, akan tetapi akan
mendatangkan kebaikan yang abadi. Apakah jual beli dan perdagangan yang lebih
besar dan menguntungkan dari hal ini? Allah Swt dalam al-qur’an berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. Yaitu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang
lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Shaf ayat 10 dan11)
Setiap dua individu manusia melalui jalan ini mampu mengantarkan
jalan menuju maslahat akhirat dan mendapatkan keselamatan atas dirinya serta
dengan dalil ini juga akan mendapatkan ketenangan dunia. Agama seperti
tali yang telah disambungkan dari puncak gunung, sehingga para pendaki dengan
perantara tali tersebut mampu untuk naik ke atas gunung, sebagai pengaman
dari jatuh atau kecelakaan serta sebagai alat bantu naik.
Begitu juga agama sebagai tali Allah yang kuat, dengan berpegang
dengannya mampu mengantarkan kepada puncak keselamatan dan mendapatkan
kebaikan-kebaikan yang pasti dan abadi serta telah bergerak pada puncak
keamanan dan ke- tenangan jiwa. Yakni, juga seiring dengan ketenangan duniawi
serta kebahagiaan akhirat: “ Barang- siapa yang berpegang pada (agama) Allah
maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus….” “Dan
berpeganglah kalian pada tali(agama) Allah dan janganlah bercerai berai…”
(surat Al-Imran ayat 101 dan 103).
Motivasi
Menurut Perspektif Psikologi Islam
Sebenarnya kata Motivasi banyak disebutkan di dalam bahasa
Al-Qur’an, yang salah satunya adalah fitrah yang artinya adalah potensi
atau pembawaan manusia yang dibawa sejak ia lahir. Manusia selain sebagai makhluk
rasionaistikl juga sebagai makhluk metafisik, yaitu makhluk yang digerakkan
oleh sesuatu di luar nalar yang biasanya disebut naluri atau insting. Setiap
perbutan yang dilakukan manusia baik yang disadari atau (rasional) maupun yang
tidak disadari (mekanikal atau naluri) pada dasarnya merupakan sebuah wujud
untuk menjaga sebua keseimbangan hidup. Jika kesimbangan tubuh ini terganggu,
maka akan timbul suatu dorongan untuk melakukan aktivitas guna mengembalikan
keseimbangan tubuh.
Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia,
sangat memperhatikan konsep kesimbangan, yang dijelaskan pada QS. al-Hijr 19
yang berbunyi:
وَاْلأَرْضض
مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنبَتْنَا فِيهَا مِن كُلِّ
شَىْءٍ مَّوْزُونٍ {19}
Artinya:
“Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjdikan padanya
gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukurannya”. (QS. Al-Hijr:19)
الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
{7}
Artinya:
“ Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu
dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang” (QS. Al-Infithar:7)[1][1]
Jadi, dapat diketahui bahwa, motivasi (motivation) adalah
keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis yang
mengarahkan perilaku. Motivasi sudah diartikan suatu variabel penyelang yang
digunakan untuk menimbulkan faktor-fakor tertentu di dalam organisme, yang
membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyeluruh tingkah laku menuju
satu sasaran. Motivasi juga dapat diartikan sebagai semangat. Pengertian inilah
yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.
Berikut
ini pengertian motivasi :
1. Menurut Abraham Maslow dan Douglas
McGregor, motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang
dilakukan oleh seorang individu.
2. Menurut Mitchell, motivasi adalah
proses yang menjelaskan intensitas, arah, ketekunan seorang individu untuk
mencapai suatu tujuan.
3. Motivasi adalah proses pengembangan
dan pengarahan perilaku individu atau kelompok, agar individu atau kelompok itu
menghasilkan keluaran yang diharapkan, sesuai dengan sasaran atau tujuan yang
ingin dicapai. (Ensiklopedi Manajemen, Ekonomi dan Bisnis, 1993).[2][2]
4. Menurut Wirawan Sarwono, motivasi
adalah istilah yang lebih umum, yang menunjuk pada seluruh proses gerakan,
termasuk di dalamnya situasi yang mendorong timbulnya tindakan atau tingkah
laku individu.
Seberapapun perbedaan para ahli dalam mendefinisikan
motivasi, namun dapat dipahami bahwa motivasi merupakan akumulasi daya dan
kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk mendorong, merangsang,
menggerakkan, membangkitkan dan memberi harapan pada tigkah laku. Motivasi
menjadi pengarah dan pembimbing tujuan hidup seseorang, sehingga ia mampu
mengatasi inferioritas yang benar-benar dirasakan dan mencapai superioritas
yang lebih baik. Makin tinggi motivasi hidup seseorang, maka makin tinggi pula
intensitas tingkah lakunya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam psikologi Islam, pembahasan motivasi hidup tidak
terlepas dari tahapan kehidupan manusia. Secara garis besar, kehidupan manusia
terbagi atas tiga tahap penting :
1) Tahapan pra kehidupan dunia, yang
disebut dengan alam perjanjian atau alam alastu. Pada aam ini terdapat rencana
atau design Tuhan yang memotivasi kehidupan manusia di dunia. Isi motivasi yang
dimaksud adalah amanah yang berkenaan dengan tugas dan peran kehidupan manusia
di dunia.
2) Tahapan kehidupan dunia, untuk
aktualisasi atau realisasi diri terhadap amanah yang telah diberikan pada alam
pra kehidupan dunia. Pada alam ini realisasi atau aktualisasi diri manusia
termotivasi oleh pemenuhan amanah. Kualitas hidup seseorang sangat tergantung
pada kualitas pemenuhan amanah.
3) Tahapan alam pasca kehidupan dunia,
yang disebut dengan hari penghabisan atau yaumul akhirah. Pada kehidupan ini
manusia diminta oleh Allah untuk mempertanggungjawabkan semua aktivitasnya,
apakah aktivitasnya sesuai dengan amanah atau tidak.
Menurut pandangan Islam telah dinyatakan secara jelas bahwa
motivasi hidup manusia hanyalah realisasi atau aktualisasi amanah Allah SWT
semata. Menurut Fazlur Rahman, amanah merupakan inti kodrat manusia yang
diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan
dengan makhluk-makhluk lain. Firman Allah:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً {72}
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikillah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat
bodoh.(QS. Al-Ahzab:72)[3][3]
Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa motivasi aktivitas hidup
seseorang. Namun motivasi yang dapat dibenarkan adalah :
1. Tidak ada motivasi atau tendensi
apapun dalam ibadah, hidup dan mati ini kecuali semata-mata karena Allah.
Firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: Katakanlah: sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.(QS Al-An’am :162)
2.
Semata-mata
ikhlas karena Allah SWT, sebab hal itu merupakan bentuk beragama yang benar.
Firman Allah SWT:
وَمَآ أُمِرُوْ~ا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا االزَّكَوةَ وَذَلِكَ
دِيْنُالْقَيِّمَةِ {5}
Artinya: padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan
menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS
Al-Bayyinah: 5)
3. Untuk mencapai kebaikan dan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terhindar dari siksaan api
neraka. Firman Allah:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Artinya: “Dan diantara mereka ada
orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".[4][4]
2. Beragama Menurut Perspektif
Psikologi Islam
Beragama juga berasal dari bahasa
Inggris yaitu religiosity dari akar kata religy yang berarti
agama. Religiosity merupakan bentuk kata dari kata religious yang
berarti beragama, beriman. Beragama adalah adanya kesadaran diri individu dalam
menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut. Manusia diciptakan
dengan membawa fitrah yang penciptaannya lebih sempurna dibanding dengan
makhluk yang lain. Penciptaannya ini dilengkapi dengan akal dan nafs, dengan
memiliki akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.[5][5] SebagaimanaRasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ
أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ
تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu
Abu Dza’bin dari Az-zuhriyyi dari Abu Salamah bin Abdur rahman dari Abu
Hurairah berkata: Nabi SAW bersabda: setiap anak dilahiran dalam keadaan
fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi,
Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang
ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?”
Dalam referensi yang berbeda, bahwa
manusia memiliki fitrah atau potensi yang terdiri dari Nafs, Qalb, Ruh,dan Aql.
Berkenaan dengan agama yang dipeluk setiap manusia, maka hal ini dikaitkan pula
dengan Ruh. Ruh merupakan dimensi jiwa manusia yan bernuansa ilahiyyah.
Implikasinya dalam kehidupan manusia adalah aktualisasi potensi luhur batin
manusia berupa keinginan mewujudkan nilai-nilai ilahiyyah yang tergambar dalam
Asmaul Husna (nama-nama Allah) dan berperilaku agama (makhluk agamis). Ini
sebagai konsekuensi logis dimensi Ruh yang berasal dari tuhan, maka ia memiliki
sifat-sifat yang dibawa dari asal tersebut. Jadi, kebutuhan manusia untuk
memeluk agama adalah suatu hal yang logis. Dalam agama, keyakinan terhadap
Allah dapat dipenuhi dan dipuaskan. Dari sinilah dapat diketahui, bahwa manusia
memang butuh Agama. Yang mana konsekuensi ini menolak pandangan psikologi tentang
paham Behafiorism dan Psikoanalismyang menganggap bahwa beragama adalah sebagai
orang yang mengidap penyakit jiwa. Karena jiwa manusia hampa dimensi Ruh yang
merupakan dimensi Ilahiyyah manusia yang bermuara pada kebutuhan terhadap Tuhan
dan Agama. Jadi, wajar saja jika tidak mengakui agama sebagai kebutuhan jiwa
manusia, namun malah sebaliknya menganggap sebagai penyakit jiwa.
Menurut perspektif Psikologi Islam,
ruh merupakan dimensi spiritual yang menyebabkan iwa manusia dapat dan
memerlukan hubungan dengan hal-hal yang bersifat spiritual. Jiwa manusia
memerlukan hubungan dengan Tuhan. Maka dari itu, jiwa juga memiliki daya-daya
atau kekuatan-kekuatan yang spiritual yang tidak dimiliki makhluk lain.
Dari dimensi inilah menyebabkan
manusia memiliki sifat ilahiyyah (sifat ketuhanan) yang mendorong manusia untuk
merealisasikan sifat-sifat Tuhannya dalam kehidupannya di dunia.[6][6]
3. Motivasi Beragama Bagi Seorang
Muslim
Agama berperan sebagai motivasi dalam mendorong individu
untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar
belakang keyakinan agama dinilai mempunyai kesucian, serta ketaatan.
Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu.
sedangkan agama sebagi nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan
seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh menurut ajaran yang dianutnya. Sebaliknya agama juga sebagi pemberi
harapan bagi pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena
adanya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari suatu harapan
terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghaib.
Motivasi
mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban.
Sedangkan nilai etik mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji
menjaga amanat dan sebagainya. Sedangkan harapan mendorong seseorang untuk
bersikap ikhlas, menrima cobaan yang berat ataupun berdo’a. Sikap seperti itu
akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.
Dalam
Al-Qur’an ditemukan beberapa statement baik secara eksplisit maupun implisit
menunjukkan beberapa bentukan dorongan yang memengaruhi manusia.
Dorongan-dorongan yang dimaksud dapat berbentuk instingtif dan dorongan
naluriah, maupun dorongan terhadap hal-hal yang memberikan kenikmatan. Hal ini dijelaskan dalam QS. Ali-Imron ayat
14 dan QS. Al-Qiyammah ayat 20. Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia pada
dasarnya memiliki kecintaan yang kuat terhadap dunia dan syahwat (sesuatu yang
bersifat kenikmatan pada badan) yang terwujud dalam kesukaan terhadap
perempuan, anak, dan harta kekayaan. Dalam surat Al-Qiyammah ayat 20 dijelaskan
larangan untuk menafikan kehidupan dunia, karena sebenarnya mnausia diberikan
keinginan dalam dirinya untuk mencintai dunia itu, hanya saja kesenangan hidup
itu tidak diperbolehkan semata-mata hanya untuk kesenagngan saja, yang
sebenarnya lebih bersifat biologis dari pada bersifat psikis. Padahal motivasi
manusia harus terarah pada suatu qiblah, yaitu arah masa depan yang disebut
Al-akhirah, sebuah kondisi yang situasi yang sebenarnya lebih bersiaft psikis.
Dalam
surat Ar-Rum ayat 30 juga dijelaskan mengenai fitrah manusia atau sebuah
potensi dasar. Potensi dasar yang memiliki makna sifat bawaan, yang mengambil
arti bahwa sejak diciptakan manusia memiliki sifat pembawaan yang menjadi
pendorong untuk melakukan berbagai bentuk perbuatan, tanpa disertai dengan
peran akal, sehingga terkadang manusia tanpa disadari bersikap dan bertingkah
laku untuk menuju pada pemenuhan fitrahnya. Seperti pada kasus yang terjadi
pada “ Agama” animism dan dinamisme, para pengikutnya bersifat dan bertingkah
laku aneh dan irrasional (menyediakan sesajen) ketika memenuhi kebutuhan
fitrahnya untuk beragama.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan potensi
dasar atau fitrah beragama. Semua manusia pasti membutuhkan agama, sekalipun
orang atheis secara actual tidak meyakini adanya Tuhan. Tetapi sebenarnya,
secara filosofi, mereka tetap mencari pegangan hidup yang diwujudkan dalam
aturan-aturan kesepakatan bersama atau semacam undang-undang yang dibuat
mereka. Aturan yang dibuat mereka terkadang lebih fanatic daripada aturan dari
seorang penganut agama yang mengakui aturan yang dibuat Tuhan. Dalam menjalankan
aturan itu seakan-akan atheis mengakui aturan itu sendiri sebagai Tuhannya. Hal
ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat memisahkan diri denagn Tuhan
sekalipun manusia tidak menyadari hubungan itu. Inilah yang dimaksud motivasi
beragama. [7][7]
Pendapat
lain menyatakan bahwa salah satu ciri utama fitrah adalah manusia menerima
Allah sebagai Tuhan. Dari asalnya manusia itu mempunyai kecenderungan beragama,
sebab beragama itu sebagian dari fitrahnya. Sebab-sebab yang menjadikan
seseorang itu tidak percaya terhadap Tuhan bukanlah sifat dari asalnya, tetapi
ada kaitannya dengan alam sekitar. Manusia butuh agama itu karena untuk
memberdayakan diri ketika sedang dalam menghadapi kesulitan atau masalah
sebagai wujud untuk menghindari bahaya yang akan menimpanya. [8][8]
4. Analisa
Sejak awal manusia diciptakan oleh Allah, sebenarnya manusia
memilki fitrah atau potensi untuk beragama. Beragama dalam hal ini adalah
beragama Islam. Menurut orang orientalis, kedatangan Isla adalah sebagai
solusi, karena menurut mereka rujukan yang utama adalah adalah psikologi umum
yang dikembangkan oleh kaumnya sendiri. Kemudian baru merujuk pada psikologi
dalam perspektif Islam.
Manusia selain disebut sebagai makhluk rasionalistik juga
disebut sebagai makhluk mekanistik, yang mana keduanya harus dalam keadaan
seimbang. Jika keduanya tidak seimbang maka manusia butuh adanya suatu dorongan
atau motivasi, baik motivasi yang berasal dari diri sendiri juga yang berasal
dari orang lain. Dalam kajian makalah ini dibahas tentang motivasi beragama
bagi seorang muslim. Motivasi adalah dorongan yang muncul dari diri seseorang
untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai. Manusia memiliki dorongan untuk
memeluk agama yang diyakininya, hal ini berkenaan dengan fitrah atau potensi
dasar yang disebut dengan Ruh sehingga hal ini disebut sebagai dimensi Ruh.
Dimensi Ruh menyebabakan manusia memiliki sifat ilahiyyah atau sifat ketuhanan
dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat tuhan itu dalam kehidupan
sehari-hari.
Dari sinilah, sebenarnya butuh dengan agama sebagai pengatur
kehidupan yang mereka jalani. Manusia butuh
agama, karena agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Manusia sejak awal lahirnya telah membawa fitrah (potensi) yang berbeda. Salah
satu potensi yang dibawa manusia itu adalah potensi agam. Segala tingkah laku
yang diperbuatnya baik dan buruknya tingkah laku itu tergantung pada mahusia
yang menjalaninya, karena pada dasarnya segala sesuatu yang diperbuat manusia
akan kembali pada agama.
Peranan
Agama pada Realitas Kehidupan Manusia
Agama mengambil peranan penting
dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena suatu agama atau
kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat secara
kontiniu. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa
manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan
pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada kondisi
masyarakat maka agama dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang
hidup dalam masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat
sekuler.Sumbangan atau fungsi agama dalam masyarakat adalah sumbangan untuk mempertahankan
nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha aktif yang berjalan terus
menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu masyarakat akan tetap
terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil peranan yang penting dan
menempati fungsi-fungsi yang ada dalam suatu masyarakat
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu
sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
- Karena agama merupakan sumber moral
- Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
- Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
- Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia
sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta
tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia
menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara
mereka yang mensyukurinya.
Dalam
keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam
godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan
daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
- Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah atau kebaikan.
- Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak peranan agama dalam kehidupan manusia, yaitu
membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan
atau kemungkaran.
Fungsi
Agama Pada Kehidupan Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu
menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang,
agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains
sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di
bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah
menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah
menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini
dikatakan agama memainkan fungsi kawanan social
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial
agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam
menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka. Hal
ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial
didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin
adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama
memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara
eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan
peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari
begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga
seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Beberapa tujuan agama terhadap
kehidupan manusia yaitu :
- Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
- Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
- Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
- Menyempurnakan akhlak manusia.
Agama juga
berperan untuk menciptakan suatu perdamaian bagi masyarakat dan sebagai alat
yang dapat dijadikan sebagai penumbuh rasa solidaritas.
Untuk
menciptakan iklim damai tersebut, perlu dibentuk pranata-pranata sosial yang
menjadi infrastruktur bagi tegaknya suatu perdamaian dalam masyarakat.
Dalam hal ini
peranan pemimpin keagamaan, seperti ulama, pendeta, kyai dan para jemaah agama,
adalah sangat penting bagi terwujudnya suasana damai dan kondusif dalam kehidupan beragama manusia sehyari hari.
Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon