BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang – undang praktik Keperawatan sudah
lama menjadi bahan diskusi para perawat.
Persatuan Perawat Nasional Indonsia (PPNI) pada kongres Nasional kedua di
Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan
perundang-undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan.
Tidak adanya
undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat
secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka
lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter
dan perawat
masih sering terjadi dan beberapa perawat
lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang
peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat
dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar
belakang ilmiah yang mereka miliki.
Tanggal 12
Mei 2008 adalah Hari Keperawatan
Sedunia. Di Indonesia,
momentum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. PPNI
menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum
bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat.
Indonesia, Laos, Kamboja dan Vietnam adalah empat Negara Association of
South East Asian Nations (ASEAN)
yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi
tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari
negara-negara Asia, terutama lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang
berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita sulit memasuki dan
mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke
negara kita.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa definisi dan tujuan praktik keperawatan?
- Mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan?
- Mengapa (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
- Apa saja isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan?
- Apa tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan ?
1.3 Tujuan
- Mengetahui definisi dan tujuan praktik keperawatan
- Mengetahui masalah-masalah RUU praktik keperawatan.
- Mengetahui pentingnya Undang-undang Praktik Keperawatan terkait dengan profesi
- Mengetahui isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan
- Mengetahui tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.
Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat baik sehat
maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan
mandiri perawat melalui kolaborasi
dengan sistem klien dan tenaga kesehatan
lain dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung
jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individu
dan berkelompok .
Pengaturan
penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan.
Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh
perawat.
3.2. Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang
Praktik Keperawatan dibutuhkan.
Pertama, alasan
filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat
kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari
pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil
dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi
dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum.
Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan
profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil,
berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu,
Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan
profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah
dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi,
fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan
dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).
Kedua, alasan
yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian
Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa
pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau
ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan
bahwa tenaga kesehatan
berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan
dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.
Ketiga, alasan
sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam
pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan
pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat
yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan
bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat
membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan
yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh
kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.
Keperawatan
merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya
pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners
harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta
memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan
dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada,
dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada
berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan
lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%.
Pada keadaan
darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit
dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam
sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter
yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang
bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan
tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter,
terutama di puskesmas
yang hanya memiliki satu dokter
yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas,
sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan
pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas
terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat
dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat
perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.
Kemudian
fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap
praktik tenaga kesehatan
termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan
kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan
praktik keperawatan.
Saat ini
desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin
tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan
tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku
penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan
tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan
keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah
dilakukan dalam memajukan profesi Keperawatan.
Pada tahun
1989, PPNI
sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU
Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU
Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya
mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992).
Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan
merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996).
Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan
pada tahun 2004.
Perlu kita
ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara
yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan
Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI
memperjuangkan RUU KeperawAtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI.
Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan
berada pada urutan 250-an pada program Legalisasi Nasional (Prolegnas),
yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).
Tentunya
pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal
ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan
yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena
itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan pun masuk
dalam agenda DPR RI.
Dalam UU
Tentang praktik Keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi:
“Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah Keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan”.
“Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah Keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan”.
Dan pasal 2
berbunyi :
“Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan Keperawatan”.
“Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan Keperawatan”.
2.3. PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
Dalam
peringatan Hari Perawat Sedunia, PPNI lebih mendorong disahkannya Undang-Undang
Praktik Keperawatan. Hal ini karena:
Pertama,
Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok
pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk
menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang
memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap
standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggunggugat terhadap tindakan yang
dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan;
memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh
untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada
kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas.
Kedua, kewenangan
penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam
suatu sistem pendidikan
keperawatan yang formal dan terstandar menuntut perawat untuk
akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang
dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak
bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem
registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan
perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat
yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan
Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan
menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan
melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik
keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan
untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan
masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai
pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar.
Ketiga, perawat
telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat
berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah
dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi
pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian
perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki
kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian
yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang
teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup
profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak
(masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang
seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan,
universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO,
2002).
Indonesia
menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam
Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris
merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun
2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia
sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur
Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat
kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board
sangat dibutuhkan.
Konsil ini
yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta
penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan
mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa
yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga
kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar
norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung
kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan
harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Tentunya
kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse
(RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia,
Singapura atau Australia.
Negara yang telah memiliki Nursing Board.
Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi
pengakuan dunia internasional terhadap perawat Indonesia.
Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat
kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan
besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh PPNI. Usaha yang telah
dilakukan PPNI adalah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen
Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi
Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap
urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian
kuat.
2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik
keperawatan:
UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok
kesehatan, Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain
menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan
hukum.
UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, UU ini
merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga
kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter,
dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana
atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan
dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter,
dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah
dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan
langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan
tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini
juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan
pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana
keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang
secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung
pada tenaga kesehatan lainnya.
UU Kesehatan No. 14 tahun 1964 tentang Wajib Kerja
Paramedis, Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga
kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada
pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979, membedakan
paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan)
dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat
disini bahwa tenaga bidan
tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.
Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun
1980, Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas
perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan
seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga
keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta
untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan
KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi
keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta.
Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan
tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama
dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama
bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi
tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif
atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing
care.
SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.
94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986 tentang jabatan fungsional tenaga
keperawatan dan sistem kredit point, dalam sisitem ini dijelaskan bahwa
tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun
bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang
dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a,
Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan
Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik
pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, merupakan UU
yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan
profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien,
kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan. Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat
dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah: Pertama Pasal
50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya. Pasal 53
ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien
ditetapkan dengan peraturan pemerintah, Pasal 53 ayat 4 juga menyatakan tentang
hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.
2.5. Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan
Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
Tugas Keperawatan
1. Melakukan
uji kompetensi dalam registrasi keperwatan,
2.
Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik
keperwatan untuk
melindungi masyarakat.
Wewenang
1. Menyetujui
dan menolak permohonan registrasi keperawatan,
2. Mengesahkan standar kompetensi
perawat yang dibuat oleh organisasi profesi
keperawatan dan asosiasi institusi
pendididkan keperawatan
3. Menetapkan ada tidaknya kesalahan
yang dilakukan oleh perawat
4.
Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang
dilakukan oeh perawat
5. Menetapkan
penyelenggaraan program pendidikan
keperawatan
BAB II
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
- Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan.
- Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat.
- Tanggal 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, memontum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan.
- Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat.
- Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar.
- Perawat Indonesia dinilai belum bisa bersaing ditingkat global.
- Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang- Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu.
- Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan.
- Konsil keperawatan bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan).
- RUU Praktik Perawat, selain mengatur kualifikasi dan kompetensi serta pengakuan profesi perawat, kesejahteraan perawat, juga diharapkan dapat lebih menjamin perlindungan kepada pemberi dan penerima layanan kesehatan di Indonesia.
2.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan, maka saran yang dapat kami berikan adalah
sebagai
berikut:
- Indonesia memerlukan Undang-Undang yang mengatur segala hal tentang dunia keperawatan. Apalagi akan dibukanya pasar bebas MIA 2016
- Diharapkan Menkes proaktif dengan DPR segera membahas RUU agar dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang
- Para perawat harus mempunyai izin dari suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk
- Memberikan izin praktek bagi perawat, sehingga bisa melindungi pasien.
Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon