BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fraktur merupakan ancaman potensial atau
aktual kepada integritas seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun
psikologis yang dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah
keadaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan secara
verbal maupun non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh
emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang
nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk
beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan (Engram, 1999).
Jumlah penderita mengalami fraktur di Amerika Serikat sekitar 25 juta orang
pertahun.
Pada saat peneliti melakukan studi
pendahuluan di ruang bedah RSUP. H. Adam Malik Medan diperoleh data bahwa, pada
bulan Maret 2010 terdapat 8 kasus yang mengalami fraktur. Fraktur femur
merupakan kejadian tertinggi. Berdasarkan observasi peneliti sejumlah pasien
dengan keluhan utama nyeri sering ditemui terutama pada pasien fraktur.
Informasi yang didapat peneliti dari perawat ruangan pada saat itu, untuk
mengatasi nyeri yang dirasakan oleh pasien diberikan obat analgetik saja dan
tidak pernah diberi kompres dingin oleh perawat untuk mengatasi nyeri yang
dirasakan pasien tersebut. Kompres dingin merupakan salah satu bentuk tindakan
mandiri perawat yang perlu dipertimbangkan terutama pada pasien yang mengalami
nyeri fraktur
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan
sendi.Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk
sendi).Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka
mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata
lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi. Dislokasi yang sering terjadi
pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena
terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet.Selain macet, juga
terasa nyeri.Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya
biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
B.
Tujuan Penelitian
a)
Tujuan Umum
sebagai pemenuhan tugas Sistemmuskuloskeletal ”fraktur
dan dislokasi”dan untuk mengidentifikasi efektifitas
kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pasien fraktur dan
dislokasi.
b) Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi
perbedaan penurunan intensitas nyeri fraktur antara sebelum dan sesudah
intervensi kompres dingin pada kelompok intervensi
b. Mengidentifikasi
perbedaan penurunan intensitas nyeri fraktur dan dislokasi antara sebelum dan sesudah intervensi
C. Manfaat
a.
Dapat digunakan sebagai informasi dan masukan dalam
memberi praktek pelayanan keperawatan yang komprehensif pada pasien yang
mengalami nyeri fraktur dan dislokasi,
b.
Dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi
mahasiswa nantinya dalam menerapkan asuhan keperawatan berupa intervensi
keperawatan di Rumah Sakit dalam perawatan nyeri pasien fraktur dan dislokasi.
c.
Dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan berharga
bagi peneliti, sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk
penelitian dimasa mendatang. Selain itu juga menyediakan informasi awal untuk
penelitian keperawatan sejenis, khususnya untuk pasien yang mengalami nyeri
fraktur dan dislokasi.
BAB
ii
pembahasan
A. KONSEP DASAR TEORI FRAKTUR
1. Definisi
a.
Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer, Arif, 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical
Surgical Nursing.
Anatomi Dan
Fisiologi
a.
Struktur
Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran,
tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut
Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah
periosteum mengikat tulang dengan benang
kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan
tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat
kuat yang disusun dalam unit struktural
yang disebut Sistem Haversian.
Tulang
terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast
merupakan sel pembentuk tulang yang
berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks.
Sedangkan osteoklast adalah sel
penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang
tua. Sel tulang ini diikat oleh
elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh
benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin)
yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah
metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya
terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang
keras. (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
b.
Tulang
Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder
dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D,
1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum,
dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon
dan mempengaruhi kestabilan sendi. Diafisis adalah bagian utama dari tulang
panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang
melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini
merupakan daerah pertumbuhan tulang
selama masa pertumbuhan. (Black, J.M, et al, 1993)
Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada
kerangka tubuh.
2)
Tempat
mlekatnya otot.
3)
Melindungi
organ penting.
4)
Tempat
pembuatan sel darah.
5)
Tempat penyimpanan
garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
Jenis Fraktur:
a.
Menurut
jumlah garis fraktur :
·
Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur)
·
Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis
fraktur)
·
Comminutive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen
kecil yang lepas)
b.
Menurut
luas garis fraktur :
·
Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara
langsung)
·
Fraktur komplit (tulang terpotong secara total)
·
Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak
tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang)
c.
Menurut
bentuk fragmen :
·
Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang)
·
Fraktur obligue (bentuk fragmen miring)
·
Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar)
d.
Menurut
hubungan antara fragmen dengan dunia luar :
·
Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit),
terbagi 3 :
I.
Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan
sedikit, kontaminasi ringan, luka <1 cm.
II.
Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih
besar, luka >1 cm.
III.
Luka besar
sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan neurovaskuler, kontaminasi besar.
·
Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan
dengan dunia luar)
2. Etiologi
a.
Kekerasan
langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
b.
Kekerasan
tidak langsung
Kekerasan tidak
langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya
kekerasan. Yang patah
biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c.
Kekerasan
akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat
jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)
3. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. (Carpnito, Lynda Juall, 2000).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M,
et al, 1993)
a.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi fraktur
1)
Faktor
Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)
Faktor
Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 2000 )
b. Biologi penyembuhan
tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan
tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang
patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang
baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan
tulang, yaitu:
1)
Stadium
Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung
24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2)
Stadium
Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur
sampai selesai, tergantung frakturnya.
3)
Stadium
Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang
yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara
tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada
tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4)
Stadium
Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast
berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup
kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5)
Stadium
Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c.
Komplikasi
fraktur
1)
Komplikasi
Awal
a)
Kerusakan
Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b)
Kompartement
Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c)
Fat
Embolism Syndrom
Fat Embolism
Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah
yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d) Infeksi
System pertahanan
tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin dan plat.
e)
Avaskuler
Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f)
Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
2)
Komplikasi
Dalam Waktu Lama
a)
Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a
penurunan supai darah ke tulang.
b)
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c)
Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik. (Black, J.M, et al, 1993)
4. Gambaran Klinis:
Tanda-tanda klasik fraktur:
1.
Nyeri
2.
Deformitas
3.
Krepitasi
4.
Bengkak
5.
Peningkatan
temperatur lokal
6.
Pergerakan
abnormal
7.
Echymosis
8.
Kehilangan
fungsi
9.
Kemungkinan
lain.
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.
Berdasarkan
sifat fraktur.
1).
Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2).
Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit
atau ketidakklomplitan fraktur.
1).
Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh
penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2).
Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui
seluruh penampang tulang seperti:
a)
Hair Line
Fraktur (patah retidak rambut)
b)
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan
dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c)
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk
garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1).
Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya
melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2).
Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya
membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3).
Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4).
Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena
trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5).
Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena
trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d.
Berdasarkan
jumlah garis patah.
1)
Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah
lebih dari satu dan saling berhubungan.
2)
Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah
lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3)
Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih
dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e.
Berdasarkan
pergeseran fragmen tulang.
1).
Fraktur
Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum nasih utuh.
2).
Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran
fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)
Dislokai
ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b)
Dislokasi
ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c)
Dislokasi
ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan:
fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis:
fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar
trauma, yaitu:
a)
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa
ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b)
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau
memar kulit dan jaringan subkutan.
c)
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan
kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d)
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan
lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995,
Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000,
Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang
mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya.
Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap
klien sendiri maupun keada keluarganya.
a
Terhadap
Klien
1)
Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang
terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan
tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama
kalsium dan zat besi
2)
Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari
fraktur, perubahan gaya
hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak
dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru
serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3)
Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat
karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga
perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya
sendiri seperti biasanya.
4)
Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan
keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena
rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b
Terhadap
Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota
keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien,
apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak
efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital
dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa
menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah
beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang
masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa
merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi
keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode
proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
a.
Pengumpulan
Data
1)
Anamnesa
a)
Identitas
Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)
Keluhan
Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)
Provoking
Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
(2)
Quality of
Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)
Region :
radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4)
Severity
(Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5)
Time:
berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari
atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
c)
Riwayat
Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)
Riwayat
Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D,
1995).
e)
Riwayat
Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)
Riwayat
Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
Pola-Pola
Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan
Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan
akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius,
Donna D,1995).
(2)
Pola
Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur
harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium,
zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)
Pola
Eliminasi
Untuk kasus
fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4)
Pola Tidur
dan Istirahat
Semua klien
fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5)
Pola
Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6)
Pola
Hubungan dan Peran
Klien akan
kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7)
Pola
Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image). (Ignatavicius, Donna D, 2000).
(8)
Pola
Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9)
Pola
Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
(10) Pola
Penanggulangan Stress
Pada klien
fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(11) Pola Tata Nilai dan
Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a)
Gambaran
Umum
Perlu
menyebutkan:
(1)Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat
adalah tanda-tanda, seperti:
(a)
Kesadaran
penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
(b) Kesakitan, keadaan
penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya
akut.
(c) Tanda-tanda vital
tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)
Sistem
Integumen
Terdapat
erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b)
Kepala
Tidak ada
gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(c)
Leher
Tidak ada
gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d)
Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak
ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(e)
Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f)
Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
(g)
Hidung
Tidak ada
deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)
Mulut dan
Faring
Tak ada
pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i)
Thoraks
Tak ada
pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j)
Paru
v
Inspeksi :
Pernafasan meningkat, reguler
atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
v
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
v
Perkusi : Suara
ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
v
Auskultasi
: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
(k)
Jantung
v
Inspeksi :
Tidak tampak iktus jantung.
v
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
v
Auskultasi
: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)
Abdomen
v Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
v Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
v Perkusi : Suara thympani, ada pantulan
gelombang cairan.
v Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia,
tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)
Keadaan
Lokal
Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)
Look
(inspeksi)
Perhatikan
apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan
parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot (birth mark).
(c)
Fistulae
(d)
Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan,
pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk
dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait,
waktu masuk ke kamar periksa)
(2)
Feel
(palpasi)
Pada waktu akan
palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu
disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada
pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(c)
Nyeri
tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau
distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
(3) Move (pergeraka
terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)
atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)
Pemeriksaan
Diagnostik
a)
Pemeriksaan
Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
·
Bayangan jaringan
lunak.
·
Tipis
tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi.
· Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
· Sela sendi serta
bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
(1) Tomografi:
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi:
menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi:
menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed
Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)
Pemeriksaan
Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan
Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)
Alkalin
Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)
Enzim otot
seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
c)
Pemeriksaan
lain-lain
(1)
Pemeriksaan
mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab
infeksi.
(2)
Biopsi
tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas
tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi:
terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy:
didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada
pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan
semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D,
1995)
b.
Analisa
Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa
untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi
dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan
masalah keperawatan yang timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual
maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan
mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi,
menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung
jawabnya.
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
3. Perencanaan
No
|
Dx.Keperawatan &
Kriteria Hasil
|
Rencana Tindakan
|
Rasional
|
1.
2.
3.
|
Nyeri akut
Risiko cedera
Gangguan mobilitas fisik
|
1.
Tinggikan
posisi
ekstremitas yang
mengalami fraktur
2.
Lakukan
dan awasi latihan gerak pasif/aktif sesuai keadaan klien
3.
Lakukan
tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)
4.
Ajarkan
penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual,
aktivitas dipersional)
5.
Lakukan
kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
6.
Kolaborasi
pemberian analgetik sesuai indikasi.
7.
Evaluasi
keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda
vital)
1.
Pertahankan
tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi.
2.
Rawat
luka setiap hari atau setiap kali bila pembalut basah atau kotor.
3.
Bila
terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut untuk
mempertahankan posisi yang netral.
4.
Evaluasi
pembebat terhadap resolusi edema.
5.
Kolaborasi
pemasangan skeletal traksi.
6.
Kolaborasi
pemberian obat antibiotika.
7.
Evaluasi
tanda/gejala perluasan cedera jaringan (peradangan lokal/sistemik, seperti
peningkatan nyeri, edema, demam)
1.
Pertahankan
pelaksanaan akti-vitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/
keluarga) sesuai keadaan klien.
2.
Bantu
latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang
sehat sesuai keadaan klien.
3.
Bantu
dan dorong perawatan diri (kebersihan/makan/eliminasi) se- suai keadaan
klien.
4.
Ubah
posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
5.
Dorong/pertahankan
asupan ca-iran 2000-3000 ml/hari.
6.
Berikan
diet TKTP.
7.
Kolaborasi
pelaksanaan fisio-terapi sesuai indikasi.
8.
Evaluasi
kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
|
1.
Meningkatkan
aliran balik vena, mengurangi edema/ nyeri.
2.
Mempertahankan
kekuat-an otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
3.
Meningkatkan
sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
4.
Mengalihkan
perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin
berlangsung lama.
5.
Menurunkan
edema dan mengurangi rasa nyeri.
6.
Menurunkan
nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun
perifer.
7.
Menilai
perkembangan masalah klien.
1.
Meminimalkan
rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di
sekitarnya.
2.
Mempercepat
penyembuh-an luka dan mencegah infeksi lokal/sistemik.
3.
Mencegah
perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan keamanan.
4.
Bila
fase edema telah lewat, kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi.
5.
Skeletal
traksi menghasil-kan efek fiksasi yang lebih stabil sehingga dapat
meminimalkan resiko perluasan cedera.
6.
Antibiotik
bersifat bakte-riosida/baktiostatika untuk membunuh / menghambat perkembangan
kuman.
7.
Menilai
perkembangan masalah klien.
1.
Memfokuskan
perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan
isolasi sosial.
2.
Meningkatkan sirkulasi darah
muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan ge-rak sendi,
mencegah kon-traktur/atrofi dan mence-gah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi.
3.
Meningkatkan
kemandiri-an klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
4.
Menurunkan
insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
5.
Mempertahankan
hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
6.
Kalori
dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan
mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
7.
Kerjasama
dengan fisio-terapis perlu untuk me-nyusun program aktivitas fisik secara
individual.
8.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur
Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal
Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder
Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan
Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta,
1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu
Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika,
Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A
Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta,
1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita
Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon