1. Definisi
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang
berarti tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula (Ahmad
Ramali).
Fraktur
cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner &
Suddart, 2000).
2 . Etiologi
1. Trauma
Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma langsung. Benturan pada
tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b. Trauma tidak langsung. Titik
tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
2. Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena
adanya proses pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang
bermetastase atau osteoporosis.
3. Fraktur
akibat kecelakaan atau tekanan
Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada
disekitar tulang tersebut tidak mampu mengabsorpsi energi atau kekuatan yang
menimpanya.
4. Spontan . Terjadi tarikan otot
yang sangat kuat seperti olah raga.
5. Fraktur tibia dan fibula yang
terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau
gerakan memuntir yang keras.
6. Fraktur tibia dan fibula secara
umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering dikait dengan
gangguan kesejajaran. (Apley, G.A. 1995 : 840)
3 . Klasifikasi
1. Fraktur berdasarkan derajat atau
luas garis fraktur terbagi menjadi :
a. Fraktur complete :
tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih.
b. Fraktur incomplete (parsial).
Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
1) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya
tetapi masih di tempat, biasa terjadi di tulang pipih.
2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak
dan pada os. radius, ulna, clavikula dan costae.
3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya
melipat ke dalam.
2. Berdasarkan garis patah atau
konfigurasi tulang:
a. Transversal, garis patah tulang
melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu tulang)
b. Oblik, garis patah tulang
melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari
sumbu tulang)
c. Longitudinal, garis patah
mengikuti sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada
di dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau
lebih garis fraktur.
3. Berdasarkan hubungan antar
fragman fraktur :
a. Undisplace, fragment tulang
fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur
tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas:
1)
Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat
2)
Angulated, membentuk sudut tertentu
3)
Rotated, memutar
4)
Distracted, saling menjauh karena ada interposisi
5)
Overriding, garis fraktur tumpang tindih
6)
Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
4. Secara umum berdasarkan ada
tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, fraktur juga
dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Fraktur tertutup, apabila kulit
diatas tulang yang fraktur masih utuh
b. Fraktur terbuka, apabila kulit
diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur
dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka
sampai ke tulang, terbai atas :
1) Derajat I
a) Luka kurang dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit
tidak ada tanda luka remuk.
c) Kraktur sederhana, tranversal,
obliq atau kumulatif ringan.
d) Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
a) Laserasi lebih dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak
luas, avulse
c) Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi
kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler
serta kontaminasi derajat tinggi.
4. Manifestasi
klinis
1. Deformitas
2. Daya
tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : rotasi
pemendekan tulang, Penekanan tulang
3. Bengkak
: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan
yang berdekatan dengan fraktur.
4. Echumosis
dan perdarahan subculaneus
5. Spasme
otot spasme involunters dekat fraktur.
6. Tendernes atau keempuka
7. Nyeri
mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
8. Kehilangan
sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya saraf atau perdarahan).
9. Pergerakan
abnormal
10. Syock
hipovolemik dari hilangnya hasil darah.
11. Krepitasi
5. Pemeriksaan
diagnostik
1. Foto
Rontgen : Untuk mengetahui lokasi, tipe fraktur dan garis fraktur
secara langsung. Biasanya
diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan
secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1,
MRI : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada
kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin
meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun. Peningkatan jumlah SDP adalah
respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat
terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati.
6. Penatalaksanaan
1. Rekognasi
Pergerakan
relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas.
Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas
yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan.
2. Traksi
Alat
traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk
meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi adalah menarik bagian
tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit dan biasanya
digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi adalah traksi
yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk
mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.
3. Reduksi
a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open
Reduction Internal Fixation)
b. Reduksi Terbuka/OREF (Open
Reduction Eksternal Fixation)
4. Imobilisasi Fraktur
Setelah
fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
7. Perawatan Perioperatif
1. Perawatan Pre Operasi:
a. Persiapan Pre
Operasi:
1) Pasien sebaiknya
tiba di ruang operasi dengan daerah yang akan di operasi sudah dibersihkan (di
cukur dan personal hygiene)
2) Kateterisasi
3) Puasa mulai
tengah malam sebelum operasi esok paginya (pada spinal anestesi dianjurkan
untuk makan terlebih dahulu)
4) Informed Consent
5) Pendidikan
Kesehatan mengenai tindakan yang dilakukan di meja operasi
2. Perawatan intra
Operasi:
a. Menerima Pasien
dan memeriksa kembali persiapan pasien
b. Identitas pasien
c. Surat
persetujuan operasi
d. Pemeriksaan
laboratorium darah, rontgen, EKG.
e. Mengganti baju
pasien
f. Menilai KU dan
TTV
g. Memberikan Pre
Medikasi : Mengecek nama pasien sebelum memberikan obat dan memberikan obat pre
medikasi.
h. Mendorong pasien
kekamar tindakan sesuai jenis kasus pembedahan
i. Perawatan
dilakukan sejak memindahkan pasien ke meja operasi samapai selesai
8. Komplikasi
1. Dini
a. Compartement syndrome : Merupakan komlikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Tekanan intracompartement dapat dibuka
langsung dengan cara whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12
jam harus dilakukan fascioterapi.
b. Infeksi : Pada trauma orthopedic
infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat
c. Avaskuler nekrosis : Avaskuler Nekrosis (AVN)
terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
d. Shock : karena kehilangan
banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi.
e. Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena
pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya
terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisiotherapi .
KONSEP ASUHAN KEPARAWATAN
1. Pengkajian
1. Identitas Pasien
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri
pada daerah Fraktur, Kondisi fisik yang lemah, tidak bisa melakukan banyak
aktivitas, mual, muntah, dan nafsu makan menurun, (Brunner & suddarth,
2002)
b. Riwayat Penyakit dahulu
Ada
tidaknya riwayat DM pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses perawatan post
operasi, (Sjamsuhidayat & Wim Dejong)
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Fraktur
bukan merupakan penyakit keturunan akan tetapi adanya riwayat keluarga dengan
DM perlu di perhatikan karena dapat mempengaruhi perawatan post operasi
2. Pola Kebiasan
a. Pola Nutrisi : Tidak mengalami
perubahan, namun beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah,
seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi
b. Pola Eliminasi : Pasien dapat
mengalami gangguan eliminasi BAB seperti konstipasi dan gangguan eliminasi
urine akibat adanya program eliminasi
c. Pola Istirahat : Kebutuhan
istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang berarti, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah
seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitali
d. Pola Aktivitas : Hampir seluruh
aktivitas dilakukan ditempat tidur sehingga aktivitas pasien harus dibantu oleh
orang lain, namun untuk aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat
melakukannya sendiri, (Doenges, 2000)
e. Personal Hygiene : Pasien masih
mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada bantuan dari orang lain,
aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur.
f. Riwayat Psikologis : Biasanya
dapat timbul rasa takut dan cemas, selain itu dapat juga terjadi ganggguan
konsep diri body image, psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih
dalam perawatan dirumah sakit.
g. Riwayat Spiritual : Pada pasien
post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami gangguan yang
berarti
h. Riwayat Sosial : Adanya
ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya pasien dapat juga menarik diri
dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna
i. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan
fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan dikumpulkan, pemeriksaan
fisik yang lengkap biasanya dimulai secara berurutan dari kepala sampai kejari
kaki.
3. Inspeksi : Pengamatan lokasi
pembengkakan, kulit pucat, laserasi, kemerahan mungkin timbul pada area
terjadinya faktur adanya spasme otot dan keadaan kulit.
4. Palpasi : Pemeriksaan dengan
perabaan, penolakan otot oleh sentuhan kita adalah nyeri tekan, lepas dan
sampai batas mana daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area
fraktur dan di daerah luka insisi.
5. Perkusi : Perkusi biasanya jarang
dilakukan pada kasus fraktur.
6. Auskultasi ; Pemeriksaan dengan
cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur berongga atau cairan yang
mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada pasien fraktur pemeriksaan ini pada
areal yang sakit jarang dilakukan, (Brunner & Suddarth, 2002)
2. Diagnosa
Keperawatan
Diagnosis
keperawatan yang dapat ditemukan pada klien pasca operasi ortopedi adalah
sebagai berikut.
1. Nyeri berhubungan dengan prosedur
pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi.
2. Risiko perubahan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran
darah.
3. Perubahan pemeliharaan kesehatan
berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
4. Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya alat
imobilisasi (misal bidai, traksi, gips).
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan
dengan adanya prosedur invasive.
3. Rencana
Keperawatan
Rencana
asuhan keperawatan pada klien postoperatif ortopedi disusun seperti berikut :
1. Nyeri berhubungan dengan prosedur
pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi.
Tujuan
nyeri berkurang atau hilang dengan
Kriteria
Hasil :
1.
Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang
2.
Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan dan ketidaknyamanan.
3.
Bergerak dengan lebih nyaman
Intervensi
:
a. Lakukan pengkajian nyeri meliputi
skala, intensitas, dan jenis nyeri.
R/ Untuk
mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan diagnosa selanjutnya.
b. Kaji adanya edema, hematom, dan
spasme otot.
R/ Adanya
edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya penyebab nyeri
c. Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/
Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri.
d. Berikan kompres dingin (es).
R/
Menurunkan edema dan pembentukan hematom
e. Ajarkan klien teknik relaksasi,
seperti distraksi, dan imajinasi terpimpin.
R/ Menghilangkan
atau mengurangi nyeri secara non farmakologis
2. Risiko perubahan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran
darah.
Tujuan
tidak terjadi kerusakan / pembengkakan
Kriteria
hasil :
1.
Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat:
2.
Warna kulit normal dan hangat.
3.
Respons pengisian kapiler normal (crt 3 detik).
Intervensi
:
a. Kaji status neurovaskular (misal
warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut nadi, nyeri, edema, parestesi,
gerakan).
R/ Untuk
menentukan intervensi selanjutnya
b. Tinggikan ekstremitas yang sakit.
R/
Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri
c. Balutan yang ketat harus
dilonggarkan.
R/ Untuk
memperlancar peredaran darah.
d. Anjurkan klien untuk melakukan
pengeseran otot, latihan pergelangan kaki, dan "pemompaan" betis
setiap jam untuk memperbaiki peredaran darah.
R/
Latihan ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan memperlancar
peredaran darah
3. Perubahan pemeliharaan kesehatan
berhubungan dengan kehilangan kemandirian
Tujuan
pasien mampu melaksanakan tugas secara mandiri
Kriteria
hasil :
1.
Klien memperlihatkan upaya memperbaiki kesehatan.
2.
Mengubah posisi sendiri untuk menghilangkan tekanan pada kulit.
3.
Menjaga hidrasi yang adekuat.
Intervensi
:
a. Bantu klien untuk merubah posisi
setiap 2 jam.
R/ Untuk
mencegah tekanan pada kulit sehingga terhindar pada luka decubitus.
b. Lakukan perawatan kulit, lakukan
pemijatan dan minimalkan tekanan pada penonjolan tulang.
R/ Untuk
menjaga kulit tetap elastic dan hidrasi yang baik.
c. Kolaborasi kepada tim gizi;
pemberian menu seimbang dan pembatasan susu.
R/ Untuk
membantu mempercepat proses penyembuhan.
4. Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya alat
imobilisasi (misal bidai, traksi, gips)
Tujuan
pasien mampu melakukan mobilisasi sesuai terapi yang diberikan
Kriteria
hasil :
1.
Klien memaksimalkan mobilitas dalam batas terapeutik.
2.
Menggunakan alat imobilisasi sesuai petunjuk.
3.
Mematuhi pembatasan pembebanan sesuai anjuran
Intervensi
:
a. Bantu klien menggerakkan bagian
cedera dengan tetap memberikan sokongan yang adekuat.
R/ Agar
dapat membantu mobilitas secara bertahap
b. Ekstremitas ditinggikan dan
disokong dengan bantal.
R/
Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri
c. Nyeri dikontrol dengan bidai dan
memberikan obat anti-nyeri sebelum digerakkan.
R/
Mengurangi nyeri sebelum latihan mobilitas
d. Ajarkan klien menggunakan alat
bantu gerak (tongkat, walker, kursi roda), dan anjurkan klien untuk latihan.
R/ Alat
bantu gerak membantu keseimbangan diri untuk latihan mobilisasi
5. Resiko tinggi infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif.
Tujuan
tidak terjadi infeksi
Kriteria
hasil : Tidak terjadi Infeksi
Intervensi
:
a. Kaji respon pasien terhadap
pemberian antibiotik
R/ Untuk
menentukan antibiotic yang tepat untuk pasien
b. Pantau tanda-tanda vital
R/
Peningkatan suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi
c. Pantau luka operasi dan cairan
yang keluar dari luka
R/
Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya tanda infeksi dari luka.
d. Pantau adanya infeksi pada
saluran kemih
R/ Retensi
urine sering terjadi setelah pembedahan
4. Evaluasi
1.
Nyeri berkurang sampai dengan hilang
2.
Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan perifer
3.
Pemeliharaan kesehatan terjaga dengan baik
4.
Dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri.
5.
Tidak terjadi perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
Sylvia Price. 2001. Pathofisiologi Konsep Klinisk Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Doengoes,
Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Mansjoer,
Arif. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius. FKUI.
Muttaqin, Arif. 2005. Ringkasan Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal. Edisi 1.
Terimkasih sudah berkunjung ke Blog Pengetahuan. Budayakan untuk berkomentar yang baik dan sesuai dengan materi postingan, komentar yang terlalu singkat kami anggap Spam dan tidak kami tanggapi
EmoticonEmoticon